Postingan

UKRAINA

Gambar
Saya kenal Vladimir Voina di Harvard University di tahun 1990. Dia orang pertama dari apa yang  waktu itu Uni Soviet yang masuk Harvard, sebagai Nieman Fellow. Dia kemudian dikenal sebagai penulis kolom untuk media berbahasa Rusia dan Inggris di  Moskow. Kami tak amat akrab.  Tapi saya belajar dari dia tentang puisi Anna Akhmatova, penyair perempuan yang terkenal dalam sastra Rusia (yang disingkirkan pemerintahan Stalin). Satu  hal lain yang bisa membangun percakapan kami yang hanya sesekali:  dia mengatakan, ayahnya  anggota perwakilan Ukraina di PBB di bawah pimpinan Dmitri Manuilsky yang di tahun 1946 mempelopori dukungan Internasional untuk Indonesia yang sedang terancam aksi militer Belanda.  Waktu itu, hanya Ukraina yang peduli. Saya ingat kembali cerita Vladimir hari-hari ini, ketika Ukraina sedang mempertahankan diri dari invasi Rusia yang ingin menguasainya kembali.  Saya ingat cerita Vladimir ketika melihat sebuah foto lama di media sosial, dipasang oleh seorang Indonesia, Ar

SEBASTOPOL

Gambar
Bagaimana kita bisa bercerita tentang  perang?    Kota Sebastopol di Krimea, di tepi Laut Hitam, terkepung. Pasukan Rusia bertahan, berdarah-darah, tanpa banyak harapan.   Syahdan, dari peristiwa Eropa abad ke-19 ini — antara Oktober 1855 dan September 1854 — di sela hari-hari yang runyam itu, seorang perwira artileri Rusia berumur 23 tahun menuliskan catatan-catatannya tentang saat-saat menjelang kekalahan melawan aliansi Turki, Prancis, dan Inggris itu. Opsir muda itu, yang pernah ikut bertempur di Kaukasus Timur, kemudian jadi salah satu pengarang besar dunia: Leo Tolstoi (1828-1910). Novelnya, “Perang dan Damai” —-yang diakui sebagai karya klasik di mana-mana,  yang selesai ketika ia berusia 68 —  menggunakan bahan-bahan  kesaksiannya di masa muda tentang  pertempuran Sebastopol.  Catatan-catatan itu dikumpulkannya dengan judul “Sevastópolʹskiye rasskázy”  (dalam versi Inggris Sebastopol Sketches,  “Sketsa-Sketsa Sebastopol”) —  tiga  tulisan pendek  yang terbit sebagai buku pada 1

SEORANG PEREMPUAN DARI HUTAN

Gambar
Ada seorang tokoh perempuan yang ganjil yang terselip sebentar di tengah 3500 halaman « Serat Centhini », karya sastra bahasa Jawa dari awal abad ke-19 itu.  Perempuan itu Retna Ginubah.  Dalam « Centhini »  jilid ke-10,  profilnya  menonjol. Suatu saat  pendapa kabupaten Lembuasta yang ramai oleh perhelatan tiba-tiba jadi senyap. Di pintu gerbang tampak seorang gadis berkuda, duduk tegak dengan pakaian prajurit.  « Samya angungun ningali » —semua  terkesima menyaksikan itu. Retna Ginubah putri Demang Wiracapa, penguasa wilayah, tapi ia bukan putri kabupaten. Ia hidup di hutan dan hanya sesekali pulang. Di sebelah kiri kudanya tampak seekor anjing loreng merah yang mengikutinya ke mana-mana.  Di sekitar  pelananya diikat dua ekor rusa dan dua kepala banteng, hasil buruan yang  hendak ia bawa sebagai oleh-oleh. « Centhini », dalam puisi Sinom,  menggambarkan penampilannya lebih rinci: « Tan lumrah marang wong kathah |  « sasolah tingkahing èstri | « sikêpe lir wong wawanan | « prajurita

DARI PAMERAN DI SEMARANG

Gambar
Ada yang menulis di FB saya baru-baru ini, mengapa saya, Goenawan Mohamad, yang “dilahirkan sebagai penyair”, kini melukis.  Saya tidak tahu, (adakah gerangan yang tahu?), saya dilahirkan sebagai apa.  Yang saya tahu, menurut ibu saya: sebagai orok.  Bayi itu jadi anak-anak, dan anak-anak jadi orang dewasa — dan seterusnya.  Dalam proses itu,  orang bisa memilih jadi apa.  Tapi sebenarnya yang lebih tepat:  bukan “jadi apa”, melainkan “melakukan apa”…. Pada suatu hari, di sebuah toko penjual peralatan seni rupa, saya ditanya:  “Bapak pelukis?”Jawab saya:  “Nah, itu juga pertanyaan saya.” Bagi saya, “penyair”, sebagaimana “pelukis” atau “perupa” atau “pemusik”, bukanlah identitas.  Atau bisa dikatakan: manusia tidak ditentukan oleh identitasnya, melainkan menentukan identitasnya — dan  itu  proses yang tak pernah putus. Dalam kehidupan kesenian, proses kerja, proses kreatif, dan hasil karya, lebih menentukan ketimbang sebutan yang melekat pada seseorang. Sayangnya, menurut pengamatan sa

DETEKTIF

Gambar
Seorang detektif adalah seorang manusia modern. Ia hidup di  masa ketika dunia tak lagi terpukau sihir, di zaman “Entzauberung der Welt”, kata MaxWeber, ketika kepercayaan kepada yang magis surut dan dewa dan para jin kehilangan peran, ketika bencana alam dan pembunuhan tak diperlakukan sebagai “misteri”, melainkan “problem” untuk dipecahkan. Tapi itu juga sebabnya cerita detektif (atau laporan jurnalistik pembunuhan Brigadir Y) mengasyikkan. Seorang detektif bermula dari tak tahu. Ia mengatasi ketak-tahuan itu bukan dengan datang ke dukun — hal-hal yang baginya hanya dipercayai manusia pra-modern.Dalam “Anjing Setan” (The Hound of the Baskervilles) karya termshur Sir Arthur Conan Doyle, detektif Sherlock Holmes mengalahkan takhayul dengan penelaahan yang rasional; tanpa sim-salabim. Seorang detektif  mulai bekerja dengan bertanya. “Siapa yang melakukannya?”’; “Siapa yang membunuh?”; “Apa motifnya?”. Ia pun menyidik. Menyidik, baginya, adalah menyorot sesuatu yang spesifik dan sekalig
SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

UKRAINA

My blogs

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

SEBASTOPOL

🔂 FOLLOWERS