SEBASTOPOL
Bagaimana kita bisa bercerita tentang perang?
Kota Sebastopol di Krimea, di tepi Laut Hitam, terkepung. Pasukan Rusia bertahan, berdarah-darah, tanpa banyak harapan.
Syahdan, dari peristiwa Eropa abad ke-19 ini — antara Oktober 1855 dan September 1854 — di sela hari-hari yang runyam itu, seorang perwira artileri Rusia berumur 23 tahun menuliskan catatan-catatannya tentang saat-saat menjelang kekalahan melawan aliansi Turki, Prancis, dan Inggris itu.
Opsir muda itu, yang pernah ikut bertempur di Kaukasus Timur, kemudian jadi salah satu pengarang besar dunia: Leo Tolstoi (1828-1910). Novelnya, “Perang dan Damai” —-yang diakui sebagai karya klasik di mana-mana, yang selesai ketika ia berusia 68 — menggunakan bahan-bahan kesaksiannya di masa muda tentang pertempuran Sebastopol.
Catatan-catatan itu dikumpulkannya dengan judul “Sevastópolʹskiye rasskázy” (dalam versi Inggris Sebastopol Sketches, “Sketsa-Sketsa Sebastopol”) — tiga tulisan pendek yang terbit sebagai buku pada 1855. Prosa ini disebut “cerita” (“rasskazy”). Tapi mungkin juga ini reportase jurnalistik: paparan kejadian yang cepat tersiar. Dua bagian awalnya sudah bisa dibaca orang ramai di Ibukota Rusia ketika pengepungan Sebastopol masih berlangsung. Tak seperti lazimnya karya sastra, “Sebastopol” langsung disambut luas —juga dibaca Tsar Alexander II.
Tak urung, “rasskazy” yang hanya 160 halaman itu mengangkat reputasi Tolstoy: ia sastrawan.
Tapi sastrawan ini tak bertutur sistematis. Yang disampaikannya bukan fiksi tapi juga bukan rekaman kejadian nyata. Seperti juga kemudian dalam “Perang dan Damai”, Tolstoi mencampurkan “kronika”, rekaman peristiwa, dengan novel. Juga: kisah perang — tentang manusia di saat berantakan dan gagah berani.
Menarik, bahwa Tolstoi kemudian dikenal sebagai tokoh anti kekerasan; Gandhi salah seorang pengikutnya.
Tapi, “Perang selalu menarik hati saya”, tulisnya dalam novel pendek “Nabeg” (Serbuan) yang terbit pada 1853.
Saya mencoba memahaminya.
Bagaimanapun, karya seni menyimpan paradoks: sang penggubah membuat sebuah karya, tapi yang memukau dalam puisi atau novelnya adalah dinamika yang melonjak-lonjak tak ke satu arah. Daya pukau itu — yang sering disebut “keindahan” — demikian rupa, hingga horor dan cinta, kemuliaan dan kesengsaaraan, muncul dalam banyak lapisan, yang tak selalu nampak.
Sayangnya, “keindahan” sering disalah-fahami. Ia hanya dianggap pesona yang membuat segala rupa, juga perang, jadi estetis. Penonton wayang kulit tahu: pertempuran habis-habisan antara Bima dan Suyudana bisa jadi sebuah “spectacle” yang meriah dan memikat. Atau, untuk memakai komentar Tolstoi dalam “Sebastopol”, perang bisa hanya “barisan-barisan yang tertata, rampak, dan gilang gemilang, musik dan genderang yang ditabuh, bendera-bendera yang berkibar, para jenderal berkuda yang lincah”.
Perang memang bisa tampak sedap — terutama dari atas, dari kamar para jenderal, pakar strategis dan analis (seperti yang kini kita ikuti di pelbagai saluran TV dalam siaran Perang Ukraina). Kengerian tak ikut membangun narasi, kematian hanya sebagai bagian drama, tubuh yang hancur hanya dilihat sejenak.
Dalam satu adegan “Sebastopol”, dua perwira Rusia sedang rehat di kamarnya. Bersandar di depan jendela, mereka memandang ke angkasa malam, menyaksikan bom bersliweran di atas gunduk pertahanan di sela-sela letusan bedil dan cahaya api kanon yang menyemburat di langit gelap.
“Quel charmant coup d’oeil, non?” (Pemandangan yang indah, bukan?), kata Kalugin kepada tamunya, Galtsin…. “Tuan tahu, tak mudah membedakan bintang-bintang dari bom”.
Dan Galtsin setuju.
Mereka berbahasa Prancis, bahasa yang biasa dipakai aristokrasi Rusia, yang membedakannya dari opsir-opsir lainnya. Galtsin seorang pangeran yang baru datang jauh dari St. Petersburgh, ibukota.
Kamar itu sebuah kontras dari apa yang di luar — di bawah.
Di hari pertama sang narator — opsir muda itu — tiba, ia melihat Sebastopol yang tanpa antusiasme, tanpa gairah tempur dan tekad untuk mati. Ia mulai meragukan cerita-cerita tentang heroisme para pembela kota ini. Tapi ia belum bisa memutuskan. Ia memasuki sebuah ruang di Gedung Majelis. Di sana rumah sakit darurat dibangun. Ia lihat sebagian besar dari 40 atau 50 orang tergeletak di lantai, baru diamputasi atau luka parah. Bau darah dan obat ke mana-mana. Di sebelah kiri, dokter dengan muka lelah nampak sedang memotong lengan seorang pasien. Pisau menusuk jangat dan tulang, pasien menjerit —lalu pembantu dokter melontarkan potongan tangan itu ke sudut ruang. Baca Juga : Ukraina
Tubuh yang tercincang, rasa sakit dan kengerian yang tak bisa sepenuhnya disampaikan…
Sang narator mendekati seorang kelasi yang baru dipotong kakinya. Ia bertanya antara ragu dan malu-malu: ‘Di mana lukamu?’.
Ya, ia ragu dan malu, “sebab penderitaan tampaknya tak hanya membangkitkan rasa belas ….melainkan juga rasa hormat yang dalam.”
Di antara prajurit tempur yang jauh dari kamar para jenderal, tak ada yang estetik. Juga tak ada perang sebagai, (menurut theori Clausewitz) , kelanjutan sebuah kebijakan yang dipikirkan. Tak ada “the art of war”, kiat berperang menurut Sun Tzu. Yang ada kepedihan, tapi juga kegigihan orang-orang tak bernama, yang menimbulkan “rasa hormat yang dalam”. Mereka yang di atas tahta bisa memaklumkan kalah dan menang, tapi bagi yang tiap saat di batas ada dan tiada, apa arti kalah dan menang?
Sebastopol jatuh. Tapi Tolstoi menyaksikan ada yang “indah” yang berlanjut. By. Goenawan Mohamad
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....