DARI PAMERAN DI SEMARANG
- Ada yang menulis di FB saya baru-baru ini, mengapa saya, Goenawan Mohamad, yang “dilahirkan sebagai penyair”, kini melukis. Saya tidak tahu, (adakah gerangan yang tahu?), saya dilahirkan sebagai apa. Yang saya tahu, menurut ibu saya: sebagai orok. Bayi itu jadi anak-anak, dan anak-anak jadi orang dewasa — dan seterusnya. Dalam proses itu, orang bisa memilih jadi apa. Tapi sebenarnya yang lebih tepat: bukan “jadi apa”, melainkan “melakukan apa”….
- Pada suatu hari, di sebuah toko penjual peralatan seni rupa, saya ditanya: “Bapak pelukis?”Jawab saya: “Nah, itu juga pertanyaan saya.”
- Bagi saya, “penyair”, sebagaimana “pelukis” atau “perupa” atau “pemusik”, bukanlah identitas. Atau bisa dikatakan: manusia tidak ditentukan oleh identitasnya, melainkan menentukan identitasnya — dan itu proses yang tak pernah putus.
- Dalam kehidupan kesenian, proses kerja, proses kreatif, dan hasil karya, lebih menentukan ketimbang sebutan yang melekat pada seseorang. Sayangnya, menurut pengamatan saya selama ini, pembicaraan tentang sastra lebih memberat ke sastrawannya, bukan ke karya. Mungkin ini ada hubungannya dengan sindrom pesohor. Sastrawan atau perupa diperlakukan, atau memperlakukan diri, sebagai selebriti. Karyanya tak dipedulikan.
- Kritik seni dan sastra sekarang sangat terbatas, tidak segairah di tahun 1950-an, ketika banyak majalah kebudayaan (“Budaja”, “Zenith”, “Indonesia”, “Seni”) diterbitkan. Berbareng dengan itu, masa itu kebebasan bicara dan kreatif belum dirasuki politik (sebagaimana di masa “Politik Sebagai Panglima”) dan perdagangan (di masa angka kelarisan jadi panglima). Keadaan sekarang membuat penilaian lebih ditentukan oleh pasar, atau koncoisme, atau “gosip”. Sastrawan dan seniman diberi peringkat karena CV-nya, bukan mutu karyanya.
- Itu sebabnya ada yang mempersoalkan, kenapa saya — juga Sapardi Djoko Damono, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge — kini “menjadi perupa”. Seakan-akan ada demarkasi dan dua zona yang dibatasi antara “sastrawan” dan “senirupawan”. Sebenarnya pertanyaan yang lebih tepat: mengapa penyair-penyair itu melukis?
- Ada titik temu antara puisi dan seni rupa, terutama puisi yang bisa disebut “imagis”. Sajak Sapardi yang terkenal, “Hujan Bulan Juni”, memperlihatkan hujan bukan dari suara rintiknya, melainkan dari “jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu”. Di sana, yang hadir adalah yang visual..
Juga sajak Chairil ini:
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan
Kita menemukan hal yang sama pada sajak Rendra, “Stanza”
Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun dua, tidak jantan tidak betina
Gugur di dahan
Ada angin dan kapuk, dua duanya sudah tua
Pergi ke selatan
Ada burung, daun, kapuk, angin dan mungkin juga debu
Mengendap dalam nyanyianku
-
Apalagi sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang berupa konstruksi tipogtrafi, meskipun bertolak dari bunyi:
Kawin
Kawin
Kawin
Kawin
Kawin
Ka
Win
Ka
Win
Ka
Win
Ka
Win
Ka
Winka
Winka
Winka
Sihka
Sihka
Sihka
Sih
Ka
Sih
Ka
Sih
Ka
Sih
Ka
Sih
Ka
Sih
Sih
Sih
Sih
Sih
Sih
Ka
Ku
Penyair Jerman, Rilke, pengagum karya-karya Rodin, dan orang yang akrab dengan seni rupa, dalam sajak “Der Panther” menghadirkan seekor hewan seakan-akan membuat rekaman visualnya:
Macan Kumbang
(Di Kebun Binatang Jardin des Plantes, Paris)
Matanya lelah, kerangkeng itu
Mengepungnya berulang kali, dan ia tak sanggup lagi.
Baginya seakan ada seribu jeruji,
Dan di balik seribu jeruji: tak ada dunia lagi.
Langkahnya pelan, tapi perkasa, berputar
Pada lingkar itu-itu juga.
Seperti tarian gagah di pentas tengah
Di mana kehendak berhimpun – dan kehendak tertegun.
Terkadang terangkat, tanpa suara,
Tirai anak mata, dan sebuah gambar masuk, merasuk
Sampai ke otot tungkai yang membisu --
Nusuk ke jantung, lebur, menyatu.
8. Tak mengherankan bila Simonides dari Ceos (556-468 S.M.) mengatakan, "Puisi adalah lukisan yang bicara. Lukisan adalah puisi yang diam".
Mungkin sebab itu Sartre mengatakan tentang puisi (tentu saja tak semua puisi) Baca Juga : Seorang-perempuan-dari-hutan
‘... seperti yang dikerjakan pelukis ketika menggoreskan warna pada kanvas; orang mengira sang penyair tengah menggubah satu frase, tapi itu hanya yang tampak di permukaan: sesungguhnya ia sedang menciptakan sebuah benda (“un objet”). Benda-kata (“les mots-choses”) itu dikelompokkan pertautan magis...seperti warna dan bunyi, mereka saling menarik, saling menampik, mereka terbakar dan pertautan mereka menyusun kesatuan puitik yang sebenarnya benda-frase (“phrase-objet”).’
Walhasil, yang penting bukanlah mengapa penyair jadi perupa, atau sebaliknya. Yang penting adalah saling ajak untuk menerima, menyambut, yang tak terduga, yang berbeda dan selalu berbeda —merayakan hidup dan semesta seakan-akan kita melihatnya buat pertama kalinya.
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....