SUNYI
Sunyi tak pernah sendirian. Ia selalu terkait dengan kita, aku, dunia. Ketika di malam Natal di 1818 di sebuah gereja dusun Austria orang terpukau mendengarkan “Stille Nacht, heilige Nacht” buat pertama kalinya dalam sejarah, mereka mungkin membayangkan diri hadir di tengah lanskap Palestina yang senyap sebelumYesus — sesenyap malam di desa Oberndorf di utara kota Salzburg itu. Salju membentang luas. Dingin mencengkeram. Langit gelap. Wilayah itu masih penuh puing dari perang Napoleon yang merusak Eropa. Di mana-mana hanya ada rumah dengan cahaya kecil. Dusun yang dihuni sekitar 5000 orang itu miskin.
Sudah beberapa lama orgel di Gereja Santa Nikolas rusak, dan “Malam Sunyi”— dibawakan dua orang, suara tenor dan bas — pun hanya diiringi gitar.
Saya bisa bayangkan, bagi jemaat di gereja itu — kebanyakan buruh perkapalan — Tuhan terasa menghibur, dari dekat, meskipun dari jauh, lebih jauh dari dusun Bethlehem. Sunyi, saat itu, seakan bertaut dengan yang sakral dan harapan yang bersahaja.
Hari-hari ini melodi ciptaan Frans Gruber (seorang pemain orgel) untuk sajak Joseph Mohr (seorang asisten pastor) itu diperdengarkan di dunia yang berubah. Hari-hari ini saya, yang bukan orang Nasrani, tak tahu apa kaitan kata “sunyi”, stille, dengan “suci”, heilige. Bayangan Natal kini adalah serangkaian lagu yang ditembangkan di gereja-gereja megah di Eropa dan Amerika yang hanya kenal perang dari film superhero. Rekaman “Malam Sunyi” beratus kali diputar di lobi mall tempat orang ramai bersantap, berkencan, dan berbelanja. Hening tak diacuhkan — dan orang berbahagia.
Di Jakarta, bahkan sunyi jadi asing.
Pukul 07:00 pagi, dari lorong di depan rumah saya sudah terdengar bunyi rekaman suling Sunda dan suara laki-laki yang terus menerus berkata, “Tahu, tahu, tahu susu, tahu Lembang….” Penjaja bermotor itu melakukanya tiap hari.
Tak lama kemudian sejumlah knalpot motor memekik. Lantas, di tengah hari dan saat mahgrib tiba, pengeras suara dari puluhan masjid bersaing menguasai angkasa, menegaskan azan, menyebut “Allahu Akbar” dengan super keras — seakan-akan waswas Tuhan dilupakan.
Di belakang studio tempat saya melukis, rumah tetangga menyiarkan — mungkin dengan desible hampir 70 dBA— Humko Hamise Curalo. Lagu dari sebuah film India itu berulang-ulang diputar selama 3,5 jam, non-stop.
Di jalan sempit depan kantor, pengamen demi pengamen (dengan atau tanpa ondel-ondel, tapi selalu dengan loudspeaker) memperdengarkan lagu-lagu Didi Kempot sampai jauh.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Yang jelas, sudah berlalu zaman ketika orang dianjurkan “berkelana ke dunia yang sepi”, lelana lalading sepi, seperti ditulis dalam Wedhatama, ajaran para priyayi Jawa lebih dari seabad yang lalu. Dunia makin sesak. Sudut-sudut yang sunyi, juga dalam kalbu, telah dikolonisasi kebutuhan yang mendesak.
Kita bisa menduga, di balik hening yang disingkirkan itu ada “kapitalisme bunyi”, kekuatan modal yang memprodusir dan memasarkan dunia simbolik yang tumbuh bersama teknologi auditif: radio, kaset, pengeras suara — dan gaya hidup yang meletakkan artikulasi lisan, termasuk musik, sebagai kebutuhan, bukan hanya keinginan.
Saya ingat satu ceramah Ivan Illich di Tokyo pada 1982. Illich dikenal sebagai rohaniawan dan pemikir yang memandang muram kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Bukunya, Tool of Conviviality, memperingatkan kita akan berkembangnya “modernized poverty”, kemelaratan yang terjadi karena dalam dunia modern, manusia jadi tak berdaya; kian canggihnya teknologi, akan membuatnya kian tergantung pada para pakar yang dianggap tahu, dan ia akan jadi sekedar bagian mesin sosial yang aus.
Dalam ceramah 13 menit itu Illich bercerita tentang Pulau Brac. Di dusun terpencil di pulau Austria itu kakeknya hidup hampir seperti di luar zaman. Pada 1926, barulah kehidupan berubah ketika datang loudspeaker.
Semula semua penghuni pulau bicara kurang lebih setara. Setelah pengeras suara muncul, akses kepada mikrofon menentukan siapa yang suaranya akan diperkeras. Semula, sunyi (dalam bahasa Indonesia lebih jelas: “keheningan”) adalah milik bersama. Kini ia jadi sesuatu yang bisa disisihkan sepihak. Siapa yang tak bisa beroleh loudspeaker akan dianggap bisu.
Tapi Illich mungkin hanya nostalgik. Keheningan disingkirkan bukan hanya karena kapitalisme dan modernisasi bunyi. Ada beragam hal yang membuat sunyi ditolak, misalnya ketika dulu di Tiongkok petasan disundut untuk mengusir setan. Atau mungkin kini menyebar rasa cemas jenis baru. Agama Islam dulu mengajarkan agar kita mendengar dengan khidmat suara azan; tapi kini muazin di masjid yang satu seperti tak mau mendengarkan azan dari masjid yang lain, yang berdekatan. Semua ingin hadir; semua hanya ingin didengarkan. Kredo yang berlaku, “aku bising, maka aku ada”
Di jalan, knalpot motor adalah bagian dari benturan ke-terdengar-an yang sama. Anak-anak muda, dengan knalpot racing yang garang seperti kucing kerah optimal, menyatakan kehadiran mereka di celah-celah lalu lintas yang sudah brisik. Mereka tak mau disepelekan, oleh orang yang bermobil atau oleh yang lebih tua dan tertib. Baca Juga : Indonesia
Maka sepi dan antisepi tak pernah sendirian, juga di sekitar Natal. Amir Hamzah menuliskannya:
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Penulis FB Oleh : Goenawan Mohamad
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....