MAAF
Perdana Menteri Belanda meminta maaf atas kekerasan ekstrem selama masa kolonialisme. Padahal kolonialisme adalah ekstrem itu sendiri.
Saya tak ingat persis. Tapi kini bisa saya duga, siang itu satu hari di bulan Febriuari 1948. Umur saya tujuh tahun. Sejak semalam sebelumnya saya dengar orang dewasa berbicara tentang “gencatan senjata”; kini saya simpulkan mereka berbicara tentang satu kesepakatan “Perjanjian Renville” yang mencoba mendamaikan konflik bersenjata antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.
Dunia tahu, perdamaian itu akhirnya tak bersungguh-sungguh. Tapi hari itu suasana memang tenang. Tadi malam tak terjadi tembak menembak lagi.
Ada selintas rasa lega, mungkin riang, tapi juga ganjil.
Tentara Belanda masih mondar mandir di jalan mengendarai jip terbuka, dengan bedil dipangku, tapi penduduk kota kecil kami memasang bendera merah putih di pintu-pintu. Orang bahkan datang berhimpun di sebuah lapangan. Saya ke sana, ikut Ibu. Tak ada rasa waswas. Satu saat malah orang bersama-sama menyanyikan “Tujuh Belas Agustus” yang waktu itu baru kami kenal. Saya lihat seorang perempuan, teman Ibu dari tanah pembuangan Digul, bernyanyi keras sekali, dengan air mata meleleh.
Tapi ternyata tak sepenuhnya keadaan tenteram.
Agak sore kami pulang dari lapangan, dan penjaga rumah, Sambyat, bercerita bahwa beberapa tentara Belanda bersenjata masuk ke ruang depan, setelah mencabut semua bendera Republik di pintu pagar kami. Seorang serdadu memaksa Sambyat menelan dua helai bendera kertas, lalu mereka pergi.
Malam harinya Ibu bercerita, siang itu ada empat pemuda ditembak mati di tengah sawah. Seregu pasukan KNIL melakukan itu, tanpa ada perkelahian. “Yang mereka bunuh bukan gerilya”, kata Ibu.
Mungkin sejak itu dalam percakapan di rumah, kata “gencatan senjata” berubah jadi “gencetan senjata”….
2022, hampir seabad kemudian, Pemerintah Belanda mengeluarkan statemen. “Untuk kekerasan ekstrim yang dilakuan secara sistematis dan meluas oleh Belanda, dan yang secara konsekuen diabaikan kabinet-kabinet sebelumnya, saya atas nama pemerintah Belanda meminta maaf yang dalam kepada bangsa Indonesia,” kata Perdana Menteri Mark Rutte.
Saya tahu kenapa ia minta maaf, tapi saya tak tahu adakah ia orang yang tepat untuk minta maaf. Rutte lahir di tahun 1967— dua puluh tahun setelah Van Mook, pejabat Gubernur Jendral Hindia Belanda, mencoba memporak-porandakan bangunan Republik dan memerintahkan agresi militer. Rutte bahkan mungkin tak tahu dengan baik sejarah Indonesia. Ia bagian dari generasi sekian tahun setelah Westerling mengeksekusi ratusan orang di Sulawesi dan mencoba mengkudeta pemerintah RI.
Saya duga tak ada dorongan hati ketika ia menyatakan minta maaf. Lagipula di mana saja itu “bangku pembantaian”?
Sejarah ditulis, ingatan kolektif dihimpun. Tapi historiografi punya cacat mendasar: menggunakan bahasa, dan memberi nama, dengan asumsi bahwa dengan itu semua arti dan makna akan bisa dibangun bersama.
“Belanda”,“Indonesia”, “Kekerasan,” dan makna tentang pentingnya kemerdekaan manusia — kata-kata dan narasi itu yang diproduksi para sejarawan. Ada harapan mereka, bahwa bahasa yang dipakai punya arti yang final. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Belanda” dan “Indonesia”?
“Belanda” hanya punya arti dalam perbandingan dengan yang “bukan-Belanda”, juga “Indonesia” hanya jelas dalam perbedaan dengan yang “bukan-Indonesia”. Perbandingan itu tak akan ada habisnya; arti “Belanda” dan “Indonesia” akan selalu tertunda. Pemberian arti tak bisa selesai dengan sebuah definisi atau sederet kalimat Wikipedia. Kita memahami bahasa bersama waktu. Tiap nama, tiap identitas, tiap cap, sebuah proses.
Maka saya tak mengatakan sesuatu yang orisinil jika mengatakan “Belanda” di tahun 1940-an bukan “Belanda” di tahun 2020. Kaitan antara pemerintah di Den Haag sekarang dengan Westerling —yang setelah keluar dari dunia militer mencoba jadi penyanyi opera — hanyalah sebuah hasil abstraksi.
“Saudara masih membenci orang Belanda?”, tanya seorang gurubesar di Leiden ketika saya baru berkenalan dengannya.
“Tidak”, jawab saya, agak kaget.
“Saya tanyakan itu sebab kami, orang Belanda, masih membenci orang Jerman”, jawabnya.
Dan saya pun ingat Anne Frank. Gadis remaja yang harus bersembunyi selama dua tahun di loteng sebuah rumah di Amsterdam itu, kita tahu, akhirnya tertangkap tentara Jerman yang menduduki Nederland. Anne mati di kamp tahanan orang Yahudi di Bergen-Belsen. Umurnya belum 15.
“Pengalaman kita berbeda”, jawab saya.
Pengalaman, yang selamanya pribadi, selamanya berbeda. Saya tak percaya “ingatan kolektif” bisa jadi saksi yang sahih, tanpa cela. Juga ingatan tentang “kekerasan yang ekstrim“. “Kita — anjing diburu — hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang”, kalimat Chairil Anawar ini tiap kali terngiang ketika saya dengar orang hendak menghakimi apa yang terjadi di suatu masa.
Maka saya katakan “ya, saya ikut memaafkan”, ketika seseorang bertanya bagaimana sikap saya terhadap statemen Rutte. Saya ingat di Makassar Monginsidi memaafkan regu tentara Belanda yang akan menghabisi nyawanya, 5 September 1949. Baca Juga : Sunyi
Tapi apa arti “kekerasan ekstrim” sebenarnya? Revolusi bukan perjamuan makan malam, kata Mao Zhedong. Juga politik kontra-revolusi. Revolusi dan musuh revolisi Indonesia — seperti di Cina, Rusia, Iran, dan Aljazair —tak hanya punya satu “bangku pembantaian”.
Tak berarti semua jadi kabur dan tak mungkin ada penghakiman. Bagi saya “kekerasan ekstrim” jelas: kolonialisme itu sendiri. Kolonialisme adalah institusi jahanam yang arogan yang rakus yang dibangun dengan “ideologi” yang merasa berhak menjadikan orang Indonesia, (atau siapa saja), sebagai subhuman, hamba yang tak bernilai manusia.
Itu yang sampai sekarang tak bisa saya maafkan. Sumber Penulis FB Oleh : Goenawan Mohamad
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....