DELAPAN SIFAT SUFI MENURUT ULAMA FIKIH SEKALIGUS TASAWUF, IMAM JUNAID AL BAHGDADI

Selain Imam al-Ghazali, salah satu nama yang diperhitungkan dalam dunia tasawuf adalah Imam Junaid al-Baghdadi. Konon, saking luasnya ilmu serta besarnya pengaruh di bidang teologi sufi, Imam Junaid mendapat julukan 'sultan'. Ia lahir di Nihawand, Persia, yang saat ini masuk ke dalam Provinsi Hamadan, Iran, namun kemudian ikut keluarganya bermukim di Baghdad.

Di kota yang berjarak sekitar 550 km dari tanah kelahirannya ini, Imam Junaid belajar ilmu fikih pada murid sekaligus sahabat dari Imam Syafii yang bernama Abu Tsur al-Kalbi. Saat menjadi yatim piatu, dia dirawat sekaligus dibekali ilmu tasawuf dari sang paman, Syekh as-Sari as-Saqti. Junaid muda juga pernah berguru pada Imam Harits al-Muhasibi. Di kota itu pula dia menghabiskan waktu untuk menyebarkan ilmu hingga wafat.

Tulisan berjudul "Syaikh Junaid al-Baghdadi, Imam Tasawuf Panutan NU" di situs NU Online menyebut Imam Junaid al-Baghdadi bergelar sayyidut thaifah di zamannya, yang berarti pemimpin kaum sufi yang ucapannya diterima oleh semua kalangan masyarakat. Hal ini tak lepas dari rekam jejaknya mengamalkan fikih dan tasawuf sekaligus, dua bidang ilmu yang sering kali dianggap saling bertentangan.

Imam Junaid mampu mewajahkan bahwa fikih dan tasawuf dapat berjalan beriringan, di mana fikih sebagai penuntun mengamalkan nilai-nilai Islam dalam keseharian sedangkan tasawuf sebagai jalan meluweskan produk syariat yang 'kaku'.

"Meskipun sebagai seorang imam sufi di zamannya, Junaid al-Baghdadi tidak meminggirkan sisi fikih dalam kesehariannya. Artinya, ia cukup proporsional dalam menempatkan aspek fikih (lahiriah) dan aspek tasawuf (batiniah) di saat kedua aspek ini bersitegang dan tidak berada pada titik temu yang harmonis di zamannya. Di zamannya, banyak ulama terjebak secara fanatik di satu kutub yang sangat ekstrem, yang fakih dan yang sufi. Banyak ulama mengambil aspek fikih dalam syariat Islam, tetapi menyampingkan aspek tasawuf dalam syariat. Sebaliknya pun terjadi, banyak ulama mengambil jalan sufistik, tetapi menyampingkan aspek fikih dalam syariat," tulis NU Online.

Imam Syafii pun pernah bersajak dalam Diwan al-Imam As Syafii, seperti dikutip M Faizi dalam artikel "Mencari Kebahagiaan di antara Fikih dan Tasawuf", yang berbunyi seperti berikut: Jadilah kamu ahli fikih dan tasawuf sekaligus, jangan pilih salah satu. Demi Allah, sungguh aku hanya sekadar memberi nasihat kepadamu.


Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat edisi Imam Junaid al-Baghdadi menguatkan hal tersebut di atas. Dituturkan, untuk menjadi murid Imam Junaid harus memenuhi syarat-syarat berbau syariat/fikih, yakni hafal Al-Qur'an, pernah menulis hadis, sekaligus paham fikih. Imam Junaid juga sangat mewanti-wanti kaum sufi dengan menyerukan pada mereka agar tidak memproduksi hal yang kontroversi karena rawan menjadi keributan di masyarakat. Sebab, menurutnya cara paham masyarakat awam tidak selevel dengan kaum sufi sehingga cara memahaminya pun berbeda. Belum lagi, pernyataan kontroversi bisa saja dipolitisasi oleh penguasa.


Bagi Imam Junaid, tasawuf adalah kondisi di mana Allah mematikan/menjauhkan seseorang dari dirinya sendiri dan menghidupkannya di dalam-Nya. Tasawuf ini berperan memurnikan hubungan dengan Allah dengan meninggalkan kesenangan dunia. Oleh Imam Junaid, kaum sufi diibaratkan Bumi, di mana semua kotoran ditimpakan padanya namun dia tetap menumbuhkan segala tumbuhan yang baik. Bumi bersedia diinjak si saleh maupun si munafik. Sufi juga seperti mendung yang memayungi segala yang ada, serta seperti pula hujan yang mengairi segala sesuatu.

Sebelum Imam al-Ghazali membagi tiga macam puasa, Imam Junaid telah menggunakan klasifikasi itu untuk menjelaskan tauhid. Imam Junaid mengklasifikasikan tauhid menjadi empat macam, yaitu awam, alim, khawas, dan khawasul khawas. Perbedaan dari keempat klasifikasi ini ada dalam hal takut (khauf) dan harap (raja').

Di level awam, seseorang masih punya ketakutan dan rasa berharap dari kekuatan di luar diri. Di level alim, seseorang punya ketakutan dan rasa berharap dari dalam diri. Di level khawas, masih ada ketakutan dan berharap kepada Allah. Di level selanjutnya khawasul khawas, tiada lagi rasa takut dan harap, melainkan hanya ada Allah.

Untuk mencapai tauhid level tertinggi ini diperlukan fana, yaitu kondisi merasa terpesona pada Allah hingga mampu mencegah hal yang tidak diinginkan Allah. Terdapat tiga tingkatan fana menurut Imam Junaid. Pertama, berusaha mengekang sesuatu yang diinginkan karena Allah. Kedua, sirnanya hasrat untuk mengejar kenikmatan duniawi.

Ketiga, sirnanya diri dan telah hidup dalam kesadaran Allah, dengan kata lain tidak lagi merasa kesadaran diri (aku) tapi kesadaran Allah yang menggerakkan.

Imam Junaid merumuskan delapan sifat sufi, yakni sebagai berikut, seperti dituturkan Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat edisi Imam Junaid al-Baghdadi.

1. Murah hati seperti Nabi Ibrahim

Konon Nabi Ibrahim tidak pernah makan malam sendirian, jika tiada teman maka dia akan memanggil tetangganya untuk menemani. Sufi tidak mungkin pelit, sebab dia sudah tak lagi terikat pada dunia.

2. Rida seperti Nabi Ismail

Selalu rela apa pun ketetapan Allah atas dirinya. Nabi Ismail bahkan rela menyerahkan nyawanya untuk Allah. Hal ini berkebalikan dengan kita yang suka mengeluh dan menawar.

3. Sabar seperti Nabi Ya’kub

Dia tadinya konglomerat namun jatuh miskin, diberi cobaan dengan penyakit kulit, hingga istri dan anak meninggalkannya, bahkan diasingkan masyarakatnya.

4. Mampu berkomunikasi dengan isyarat seperti Nabi Zakaria

Ketika akan punya anak, Nabi Zakaria tidak lancar bicara secara verbal tapi berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Kita tahu bahwa ada hal-hal yang tidak bisa disampaikan begitu saja di masyarakat karena bisa menimbulkan salah pemahaman yang berujung keributan. Maka, sufi perlu menguasai bahasa simbolik.

5. Uzlah seperti Nabi Yahya

Tidak terlalu terlibat dengan masyarakat agar dirinya tidak hilang ditelan kerumunan. Maka, sufi perlu sesekali menjauh (uzlah) agar mampu memandang banyak hal secara lebih luas. Tujuannya adalah agar tak terlalu sibuk sehingga bisa muhasabah. Tentu saja dekat dengan masyarakat bukan sesuatu yang negatif, hanya saja perlu dijaga agar tidak terlalu terikat.

6. Kesederhanaan seperti Nabi Musa

Nabi Musa sebenarnya bisa bergaya ala seorang pangeran sebab dia merupakan anak angkat Raja Firaun. Namun, dia suka mengenakan pakaian sederhana yang terbuat dari kain wol.

7. Pengembara seperti Nabi Isa

Ke mana-mana membuat seseorang bisa mengerti macam-macam, wawasannya semakin luas. Para ulama terdahulu punya tradisi rihlah (perjalanan) ilmiah. Konon, untuk mencari satu hadis saja diperlukan waktu hingga berminggu-minggu.

8. Rendah hati seperti Nabi Muhammad

Rasulullah saw tidak meninggi-ninggikan diri. Hal ini rasa-rasanya berkebalikan dengan kita hari ini yang merasa paling tinggi dan paling benar.

Kita layak menanyakan, adakah diri kita memiliki kualifikasi sufi yang dijabarkan Imam Junaid ini? Bukan dalam rangka mengaku/merasa sufi, tapi sebagai bentuk meneladani sekaligus muhasabah agar memiliki laku diri yang lebih positif bagi sesama. Baca Juga : Daftar-75-nama-pegawai-kpk

Mari sibuk dengan diri kita sendiri. Mari bermuhasabah.[Sumber : AKURAT.CO]

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

UKRAINA

My blogs

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

SEBASTOPOL

🔂 FOLLOWERS