AWAL DAN AKHIR DARI SEBUAH PENCARIAN
Awal dan Akhir dari Sebuah Pencarian
Tulisan ini saya edit dari tugas mahasiswa saya di Pascasarjana IAIN Antasari, berisi sebuah renungan sufistik yang cukup mendalam terinspirasi dari sebuah novel karangan Ibn Tufail tentang pencarian Tuhan oleh seorang anak manusia tanpa campur tangan persepsi. Novel itu berjudul Hay bin Yaqzhan.
Hayyân ibn Yaqzhân adalah seorang anak manusia yang terdampar disebuah hutan rimba, dia tumbuh besar bersama dengan aneka flora dan fauna yang ada di hutan, Hayyân ibn Yaqzhân tidak mengenal makhluk yang sepertinya dihutan, karena ia adalah satu-satunya manusia yang ada di hutan itu.
Ketika Hayyân ibn Yaqzhân telah sampai kepada had al-tamyȋz (mampu menalar sesuatu dengan akalnya), ia melihat sembari memikirkan aneka flora yang beraneka ragam jenisnya dengan karakteristiknya masing-masing, kemudian ia juga melihat dan memikirkan berbagai macam fauna yang hidup di hutan tempat ia tinggal, ia memikirkan seluruh keteraturan yang ada di semesta alam yang mengelilinginya.
Walhâshil, dengan segala perenungannya terhadap apa yang bisa ditangkap indranya, sampailah Hayyân ibn Yaqzhân pada suatu kesimpulan, bahwa segala keindahan, keajaiban yang membuat dirinya terkagum-kagum, serta keteraturan yang terjadi di alam semesta bukanlah suatu hal yang kebetulan, terjadi begitu saja. Namun ia yakin pasti ada di belakang itu semua Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pengatur dan Perancang semua yang ada disemesta ini.
Ia (Tuhan) yang diyakini Hayyân bin Yaqzhân wujudnya, namun ia sendiri bingung, siapakah Dia yang dimaksudnya, siapa nama-Nya, bagaimana sifat-Nya, dan seterusnya. Demikian sekilas cerita pertualangan ma’rifah Hayyân ibn Yaqzhân yang ditulis oleh seorang filosof Islam ternama Ibn Thufail.
Ibn Thufail dengan novelnya Hayyân ibn Yaqzhân, ingin menyampaikan pemikiran filsafatnya terkait dengan ma’rifah al-makhlûq ilâ al-khâliq (pengenalan makhluk/manusia terhadap Pencipta-Nya). Ibn Thufail berpendapat (melalui kesimpulan yang ditarik penbaca novelnya), bahwa manusia dengan al-idrâk al-aqlȋ (kemampuan nalar akal) mampu untuk mengenal Tuhan Sang Pencipta, namun sebagaimana pengenalan Hayyân ibn Yaqzhân, pengenalan manusia terhadap Khâliq yang bersumber dari kemampuan akal, hanya akan sampai kepada keyakinan adanya sang pencipta, namun siapa Tuhan itu, apa nama-Nya, bagaimana karakternya, akan menjadi misteri oleh nalar manusia.
Pengenalan yang lebih dari sekedar keyakinan adanya Sang Maha pencipta (siapa Tuhan itu, apa nama-Nya, bagaimana karakternya dan seterusnya) bukanlah wilayah dimana akal manusia mampu menalarnya. Dalam wilayah ini akal hanya bisa taslȋm (menyerah) dan khudhû’ (merendah) berhenti menalar, sehingga datang kepadanya pertolongan dari Yang di Atas (wahyu, syariat, dan istilah-istilah sejenisnya).
Profil Ibrahim as adalah salah satu contoh yang dibumikan al-Qur’an dalam konteks ini. Ketika Ibrahim as merenungi malam dengan bulan dan bintang-bintangnya, siang dengan mataharinya. Ia sampai kepada keyakinan atas adanya Sang Maha Pencipta. Namun ia pun kebingungan dan ketakutan akan tersesat dalam menentukan pilihan terhadap yang mungkin menjadi Tuhan diantara Tuhan-Tuhan, ia pun taslȋm (menyerah) dan khudhû’ (merendah), berhenti menalar terhadap Sang Pencipta, menunggu pencerahan-Nya (lihat Q.S. al-An’âm: 75-79).
Begitu pula Muhammad saw dalam kejemuan dan kemuakan terhadap interpretasi-interpretasi keliru, usaha-usaha gagal dalam menterjemahkan siapa sebenarnya Sang Maha Pencipta, Dia menjauh dari komonitas yang sesat dalam menalar siapa Tuhan mereka, ia bertahannuts (semedi) di dalam gua hirrâ menunggu pencerahan dari Tuhannya, maka turunlah pencerahan tersebut berupa wahyu (Q.S. al-‘Alaq: 1-5) yang di bawa oleh utus Tuhan (jibril/namûs).
Setelah menalar dan merenungi alam semesta, kemudian dibantu oleh-Nya untuk mengenal eksitensi-Nya, apakah manusia akan puas dengan ma’rifahnya?.
Manusia adalah makhluk yang selalu berfikir dan menalar, sedangkan Tuhan mengenalkan diri-Nya hanya laksana setetes air ditengah gurun pasir rasa ingin tau manusia yang begitu luas. Mungkinkah manusia puas dengan konsep ma’rifah yang hanya burupa informasi-informasinya bahwa nama-Nya adalah Allah, dan baginya ada 99 nama lain yang menunjukkan nu’ût-Nya (sifat-sifat-Nya), af’âl-Nya (aksi-aksi-Nya), sedangkan Ia membiarkan zat-Nya diketahui sebatas pengetahuan dangkal seperti itu, disatu sisi Dia mengenalkan nama-nama dan sifat-sifatnya, namun disisi lain Dia membiarkan Zat-Nya sebagi Zat yang gâ’ib (abstrak) tidak tertangkap oleh indra.
Bagai manapun larangan untuk menyelami dan mengenali Zat-Nya, baik larangan itu melalui lisan-lisan orang suci (ulama), ataupun larangan itu dari kekasih-Nya dalam sabdanya: tafakkarû fȋ âlâillâh wa lâ tafakkarû fillâh; pikirkanlah tanda-tanda kekuasaan Allah dan jangan kamu berfikir bagaimana Zat Allah, atau bahkan larangan itu datang dari-Nya, semua itu tidak akan menghentikan rasa penasaran manusia dengan Zat Pencipta-nya.
Rasa penasarang terhadap hakikat Zat-Nya pasti ada dalam diri manusia, hanya saja ada kelompok manusia yang coba membenamkan rasa penasaran tersebut, mereka lawan seluruh rasa ingin tau tersebut, karena takut dengan larangang-larangan tadi. Namun ada juga yang terang-terangan mengekspresikan rasa ingin taunya dengan mencoba terus dan terus untuk bisa mengenal, melihat, bahkan bertegur sapa dengan Zat-Nya.
Musa as mungkin adalah potret dari kelompok kedua yang diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an, Musa Kalȋmullâh tidak puas dengan ma’rifahnya, padahal Ia dengan ma’rifahnya bisa berdialog dengan Tuhannya, namun tetap saja ia haus dan haus, dahaga ingin berjumpa langsung dengan Tuhannya, memang ma’rifah adalah laut yang tak bertepi.
Musa as meminta kepada Tuhannya untuk bisa melihat zat-Nya. Setelah sekian lama merayu-rayu Tuhannya, akhirnya Tuhan berfirman kepada Musa as. Isi firman tersebut berupa pernyataan Tuhan bahwa Musa as bisa melihat Rabb-nya dengan wasȋlah (media) gunung yang ada dihadapannya.
Seketika Tuhan bertajallȋ kegunung tersebut, Musa as tersungkur tidak mampu memandang tajallȋ Tuhannya, gunung yang menjadi media tajallȋ Tuhan pun hancur berkeping-keping, karena tak sanggup memikul tajallȋ Tuhan (al-a’raf: 143).
Kaum sufi membandingkan kejadian yang dialami Musa as dengan kejadian yang dialami Muhammad saw. Mereka akhirnya berkesimpulan, bahwa bahwa ma’rifah Muhammad saw lebih tinggi dari ma’rifah Musa as. Jika Musa as yang berkehendak melihat Tuhan-nya, maka berbeda dengan Muhammad saw, Tuhannyalah yang berkehendak menampakkan Zat-Nya kepada Muhammad saw.
Selain itu, Muhammad saw adalah wujud nyata dari Nur-Nya, ketika Nur Tuhan bertemu dengan Nur Muhammad yang dahulunya adalah satu-kesatuan yang padu, maka yang terjadi ketika pertemuan Muhammad saw dengan Tuhannya adalah keselarasan, mesra, dan saling berkecocokan. Laksana cahaya lentera bertemu dengan cahaya lentera lain, cahayanya tak saling mengalahkan bahkan menjadi selaras dan satu padu. Lain halnya, jika yang ditemui cahaya lentera tadi adalah kegelapan, maka yang terjadi cahaya pasti akan menerkam kegelapan dan mengalakannya.
Tidak ada jalan lain untuk manusia untuk bertemu dengan Tuhannya dengan selamat, selain memfanakan (melebur) dirinya dalam Nur Muhammad, dengan jabaran bahwa mâ siwallâh (selain Allah) diciptakan dari satu bahan yang disebut Nur Muhammad.
latihlah diri !, untuk menghakikatkan segala sesuatu itu berasal dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad bersumber dari-Nya. Jadikanlah hakikat ini sesuatu yang melekat tak terpisahkan dalam mushâhadah (pandangan) batin, seperti melekatnya kulit dengan daging, daging dengan tulang, tulang dengan sum-sum.
Lihatlah tajalȋ Tuhan setelah Sulûk al-Nûr (menapaki musyâhadah Nur Muhammad), sehingga pada akhirnya, kelulah lidah dari menta’bȋr (menggambarkan) segala hal yang terjadi antara Nur Muhammad dan Nur-Nya. Baca Juga : Jalan-menuju-makrifat-lewat-tarekat
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....