TITIK NUN
Pada artikel ini yang berjudul “Iqra’ (Zikir)”, ketersambungan dengan sang Khalik melalui metodologi menyebut-nyebut atau membaca Namanya (iqra’). Sebagaimana pengalaman beliau di gua Hira, menyebut-nyebut ismu Rabb dengan teknik tertentu telah memperjalankan Muhammad bin Abdullah (dan juga para sufi dari umatnya) ke alam yang lebih tinggi. “Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan” (Al-‘Alaq: 1).
Zikir yang dibimbing oleh seorang mursyid (Jibril) mampu membawa jiwa kita dari alam jabarut (dunia material) ke alam malakut (ruh) sampai ke alam rabbani (makrifatullah). Karena memperoleh pengetahuan dari alam yang lebih tinggi, tidak heran banyak sufi atau ahli zikir yang “mabuk”. Nabi Muhammad SAW sekalipun harus “diselimuti”, gemetaran dengan pengalaman spiritualnya. Bahkan dituduh gila: “Mereka berkata: Hai orang yang diturunkan dzikir kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang gila” (QS. Al-Hijr: 6).
Surah Al-Qalam ayat 1-2 juga menceritakan tentang Muhammad dengan pengetahuan rahasia yang ia miliki. Serta tuduhan gila kepadanya karena mendakwahkan tentang hakikat Nur Muhammadi:
ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
(1) “NUN. Demi Qalam dan apa yang mereka tulis”
NUN merupakan nama lain dari Muhammad bin Abdillah. Panggilan lain untuk Muhammad SAW adalah “Thaha” (QS. Thaha: 1), “Abduh” (QS. Al-Isra: 1), dan “Ahmad” (QS. as-Shaff: 6). NUN/Muhammad adalah sebuah wadah yang menampung sebuah titik rahasia. Titik rahasia atau titik NUN disebut juga dengan “qalam” atau “al-qalam al-a’la”. Itulah cahaya ilahi atau Nur Muhammad yang ditanam dalam dada Muhammad bin Abdillah. Titik NUN inilah yang menjadi ruhaninya Muhammad, yang sudah ada sebelum Adam ada. Sehingga dikatakan, Muhammad sudah menjadi nabi sebelum Adam menjadi nabi. Makna “telah ada” pada diri rasulullah suri tauladan yang baik adalah kandungan Nur Muhammad ini (QS. Al-Ahzab: 21).
Titik NUN (Nur Muhammad) merupakan “pena/tinta” tempat munculnya ilmu-ilmu rahasia (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Titik NUN (Nur Muhammad) merupakan sumber dari segala cahaya, kitab atau pengetahuan (QS. AL-Maidah: 15). Dalam berbagai hadis, titik NUN ini disebut juga dengan “al-haq al-makhluk” atau “al-syajarah al-baidha”. Karena seluruh makhluk atau eksistensi memancar darinya. – aktualisasi dari titik NUN adalah titik “BA”.
مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ
(2) “Berkat nikmat Tuhanmu kamu sekali-kali bukan orang gila”
Indah sekali pengalaman memperoleh nikmat pengetahuan yang tinggi dari Tuhan. Siapapun dapat bermujahadah untuk memperoleh nikmat ini (para nabi, wali dan sufi paling rajin dalam usaha ini). Namun lagi-lagi, Allah sendiri yang memilih siapa yang dikehendaki-Nya. Muhammad bin Abdillah adalah sosok yang paling dipilih Tuhan dari semua makhluknya. Muhammad menjadi nabi teragung (menjadi tajalli-Nya) karena memiliki totalitas elemen nurullah dalam dirinya. Sehingga ia memiliki bermacam keutamaan dari nabi-nabi sebelumnya.
Namun sulit bagi Muhammad menceritakan tentang titik NUN, ilmu-ilmu rahasia, pengalaman-pengalaman batiniah atau hakikat ketuhanan kepada masyarakat jahiliah. Ketika diceritakan pasti akan dikatakan gila. Menceritakan pengalaman mikraj saja sangat problematis. Segelintir yang percaya. Demikian pula nasib para ulama yang mengalami berbagai fenomena hakikat. Menyampaikan kejadian-kejadian unik kepada publik awam, akan dituduh macam-macam.
Alquran sendiri tidak seluruhnya terbuka untuk umum. Ada makna-makna rahasia, kandungan batin atau dimensi mutasyabihat yang tidak diketahui oleh ulama biasa atau masyarakat kebanyakan. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu hakikat cenderung diajarkan secara khusus. Dalam pengalaman Muhammad dengan Mursyidnya di Gua Hira dibahasakan dengan “didekap” atau “dipeluk” sehingga ia mampu membaca (mengetahui) hakikat dari isim dzikir. Jadi, ilmu hakikat bukan untuk dikaji di warung kopi.
“Kuharamkan kalian membedah mayat dipinggir jalan”, Kata Guru yang mulia sang ahli kasyaf Abuya Sayyidi Syekh Ahmad Sufimuda mengingatkan. Baca Juga : Membaca-kitab-lauhul-mahfuzh
Sebagaimana hadis Nabi SAW, Beliau juga menasehati: “Sampaikanlah menurut kadar sipenerima.” Islam itu berlapis dan tentu saja ilmu tentang Islam itu juga berlapis baik yang zahir maupun yang batin. Tentang hakikat tidak akan mampu diuraikan lewat kata. Sebab, hakikat merupakan rasa. Tidak akan pernah bisa mengetahui tentang rasa kalau tidak pernah merasakan.
Pada artikel ini yang berjudul “Iqra’ (Zikir)”, ketersambungan dengan sang Khalik melalui metodologi menyebut-nyebut atau membaca Namanya (iqra’). Sebagaimana pengalaman beliau di gua Hira, menyebut-nyebut ismu Rabb dengan teknik tertentu telah memperjalankan Muhammad bin Abdullah (dan juga para sufi dari umatnya) ke alam yang lebih tinggi. “Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan” (Al-‘Alaq: 1).
Zikir yang dibimbing oleh seorang mursyid (Jibril) mampu membawa jiwa kita dari alam jabarut (dunia material) ke alam malakut (ruh) sampai ke alam rabbani (makrifatullah). Karena memperoleh pengetahuan dari alam yang lebih tinggi, tidak heran banyak sufi atau ahli zikir yang “mabuk”. Nabi Muhammad SAW sekalipun harus “diselimuti”, gemetaran dengan pengalaman spiritualnya. Bahkan dituduh gila: “Mereka berkata: Hai orang yang diturunkan dzikir kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang gila” (QS. Al-Hijr: 6).
Surah Al-Qalam ayat 1-2 juga menceritakan tentang Muhammad dengan pengetahuan rahasia yang ia miliki. Serta tuduhan gila kepadanya karena mendakwahkan tentang hakikat Nur Muhammadi:
ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
(1) “NUN. Demi Qalam dan apa yang mereka tulis”
NUN merupakan nama lain dari Muhammad bin Abdillah. Panggilan lain untuk Muhammad SAW adalah “Thaha” (QS. Thaha: 1), “Abduh” (QS. Al-Isra: 1), dan “Ahmad” (QS. as-Shaff: 6). NUN/Muhammad adalah sebuah wadah yang menampung sebuah titik rahasia. Titik rahasia atau titik NUN disebut juga dengan “qalam” atau “al-qalam al-a’la”. Itulah cahaya ilahi atau Nur Muhammad yang ditanam dalam dada Muhammad bin Abdillah. Titik NUN inilah yang menjadi ruhaninya Muhammad, yang sudah ada sebelum Adam ada. Sehingga dikatakan, Muhammad sudah menjadi nabi sebelum Adam menjadi nabi. Makna “telah ada” pada diri rasulullah suri tauladan yang baik adalah kandungan Nur Muhammad ini (QS. Al-Ahzab: 21).
Titik NUN (Nur Muhammad) merupakan “pena/tinta” tempat munculnya ilmu-ilmu rahasia (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Titik NUN (Nur Muhammad) merupakan sumber dari segala cahaya, kitab atau pengetahuan (QS. AL-Maidah: 15). Dalam berbagai hadis, titik NUN ini disebut juga dengan “al-haq al-makhluk” atau “al-syajarah al-baidha”. Karena seluruh makhluk atau eksistensi memancar darinya. – aktualisasi dari titik NUN adalah titik “BA”.
مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ
(2) “Berkat nikmat Tuhanmu kamu sekali-kali bukan orang gila”
Indah sekali pengalaman memperoleh nikmat pengetahuan yang tinggi dari Tuhan. Siapapun dapat bermujahadah untuk memperoleh nikmat ini (para nabi, wali dan sufi paling rajin dalam usaha ini). Namun lagi-lagi, Allah sendiri yang memilih siapa yang dikehendaki-Nya. Muhammad bin Abdillah adalah sosok yang paling dipilih Tuhan dari semua makhluknya. Muhammad menjadi nabi teragung (menjadi tajalli-Nya) karena memiliki totalitas elemen nurullah dalam dirinya. Sehingga ia memiliki bermacam keutamaan dari nabi-nabi sebelumnya.
Namun sulit bagi Muhammad menceritakan tentang titik NUN, ilmu-ilmu rahasia, pengalaman-pengalaman batiniah atau hakikat ketuhanan kepada masyarakat jahiliah. Ketika diceritakan pasti akan dikatakan gila. Menceritakan pengalaman mikraj saja sangat problematis. Segelintir yang percaya. Demikian pula nasib para ulama yang mengalami berbagai fenomena hakikat. Menyampaikan kejadian-kejadian unik kepada publik awam, akan dituduh macam-macam.
Alquran sendiri tidak seluruhnya terbuka untuk umum. Ada makna-makna rahasia, kandungan batin atau dimensi mutasyabihat yang tidak diketahui oleh ulama biasa atau masyarakat kebanyakan. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu hakikat cenderung diajarkan secara khusus. Dalam pengalaman Muhammad dengan Mursyidnya di Gua Hira dibahasakan dengan “didekap” atau “dipeluk” sehingga ia mampu membaca (mengetahui) hakikat dari isim dzikir. Jadi, ilmu hakikat bukan untuk dikaji di warung kopi.
“Kuharamkan kalian membedah mayat dipinggir jalan”, Kata Guru yang mulia sang ahli kasyaf Abuya Sayyidi Syekh Ahmad Sufimuda mengingatkan.
Sebagaimana hadis Nabi SAW, Beliau juga menasehati: “Sampaikanlah menurut kadar sipenerima.” Islam itu berlapis dan tentu saja ilmu tentang Islam itu juga berlapis baik yang zahir maupun yang batin. Tentang hakikat tidak akan mampu diuraikan lewat kata. Sebab, hakikat merupakan rasa. Tidak akan pernah bisa mengetahui tentang rasa kalau tidak pernah merasakan.
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....