GOLONGAN SUFI YANG MENETAPKAN WAHDATUL WUJUD, JUGA MENOLAK HULUL DAN ITTIHAD
Tidak dapat dipungkiri bahwa, ada sebagian kalangan manusia yang memahami makna Wahdatul-wujud ini dengan makna yang keliru dan sesat, yaitu dengan makna hulul (Tuhan menempati makhluk) dan Ittihad (Tuhan bergabung dengan makhluk).
Akhirnya, mereka mengakui sudah (wushul) sampai kepada Allah s.w.t. dan mencapai derajat makrifat, bahkan ada yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, karena tuhan wujud dalam setiap makhluk. Hasil dari pengakuan ini, mereka merasa diri mereka tidak perlu lagi melakukan syariat dan ketaatan karena mereka adalah tuhan, atau tuhan wujud dalam diri mereka, atau sudah sampai kehadirat tuhan. Ini suatu kesesatan yang nyata, yang diingkari sendiri oleh para sufi.
Para ulama' sufi seperti Imam Ibn 'Arabi r.a., Imam Abdul Karim Al-Jili r.a., Syekh Ibn Al-Faridhi r.a., Syekh Ali ibn Wafa dan sebagainya, berlepas diri dari pemahaman yang sesat ini, bahkan turut membantah kesesatan ini secara keras.
Imam Ibn 'Arabi berkata dalam Al-Futuhat pada bab Al-Isra': "Barang siapa yang mengaku hulul, berarti dia telah sesat. Ini karena, orang yang berkata tentang hulul itu mengidap penyakit yang tidak dapat diobati. Barang siapa yang membedakan antara diri kamu dengan dzatNya, maka kamu telah menetapkan dirimu dan dzatNya. Tidakkah kamu mendengar sabda Nabi s.a.w. yang berbunyi: "Maka Aku jadi pendengarannya yang Dia mendengar dengannya". Dia menetapkan dirimu dengan menunjukkan dirimu dalam hadits tersebut. Barang siapa yang mengaku ittihad, berarti orang yang athies, seperti yang mendakwa hulul juga, merupakan orang yang dungu dan melampaui batas. Ini karena dia menisbahkan hal yang mustahil. Barang siapa yang membedakan dirinya dengan Allah s.w.t., maka dialah yang benar."
Imam Ibn 'Arabi r.a. juga berkata lagi dalam kitab Aqidah Al-Wusto : "Maha Suci Allah s.w.t. dari menempati sesuatu yang baru, atau sesuatu yang baru tersebut menempatiNya"
Imam Al-Ghazali r.a. juga menolak keras pemahaman Hulul dan Ittihad ini dengan berkata : "Hukuman pancung pada seorang dari mereka (yang mengaku hulul dan ittihad) lebih baik daripada membunuh seratus orang kafir karena mudharatnya lebih berbahaya kepada agama. "
Imam An-Nablusi r.a. berkata dalam kitab Idhohul Maqsud: "Adapun orang-orang jahil, zindiq dan mulhid (athies) yang memahami wahdatul-wujud dengan makna bahwa wujud mereka yang baru pada hakikatnya merupakan wujudnya Allah s.w.t., dan dzat mereka pada hakikatnya adalah dzat Allah s.w.t., sehingga mengaku gugurlah hukum-hukum syariat dari mereka, maka menganggap sesat mereka adalah suatu tindakan yang benar.
"Para fuqoha’ mendapat pahala dari Allah s.w.t. dalam menganggap sesat golongan tersebut, dan para arif billah dan kaum sufi juga bersama mereka dalam menghukum sesat golongan tersebut, tanpa perselisihan lagi".
Imam As-Suyuti r.a. sendiri menulis dua pasal dalam menolak kesesatan hulul dan ittihad dalam kitab beliau, Ta'yiid Al-Haqiqah Al-'Aliyah.
Beliau berkata dalam bab fil Ittihad: "Seorang makhluk pun tidak ada yang dapat bergabung atau bersatu dengan dzat makhluk yang lain, bagaimana dia mampu bersatu dengan dzat Allah s.w.t.? Ini suatu kemustahilan dan kesesatan yang nyata!"
Syaikh Musthafa Al-Bakri juga berkata dalam risalah beliau Al-Maurid Al-Azb: "Ketahuilah bahwa telah lahir suatu golongan yang mengaku diri mereka sebagai ahli makrifat, namun mereka adalah golongan yang sesat, takkala mereka mengaku, wujud mereka yang baru, berukuran dan terbatas itu, merupakan hakikat wujudnya Allah s.w.t. itu sendiri yang qadim. Mereka juga mengaku bahwa, dzat mereka yang baru pada hakikatnya adalah dzat Allah s.w.t. yang qadim. Tujuan mereka menetapkan demikian adalah untuk menggugurkan ketetapan hukum syari’at atas diri mereka, dan menolak taklif dari diri mereka, maka merekalah yang wajib dihukum keluar dari agama (murtad) atas diri mereka. Merekalah golongan athies yang durjana. Mereka sesat lagi menyesatkan, karena mengingkari penciptaan Allah s.w.t. atas diri mereka yang baru, yang jelas menurut syara’, dan menolak syariat Islam itu sendiri.
"Ini suatu perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh sembarang orang bodoh, apalagi diucapkan oleh orang alim maupun orang arif….Demi Allah, hendaklah kamu jauhi mereka…"
#Catatan bagi orang awam dan para pemikir/penulis yang kering dan dangkal tanpa SULUK
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api. Bara api tentulah panas dan tentu amatlah sulit mempertahankan genggaman tersebut tanpa membuat tangan melepuh.
Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.
Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran bagi orang-orang yang konsisten dengan ajaran Islam secara kafah saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul , begitu sulitnya dan begitu beratnya.
Acapkali bagi masyarakat awam, orang-orang yang memegang teguh terhadap ajaran ajaran Islam sejati adalah orang-orang yang fanatik. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Bahkan parahnya sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam.
Melawan arus, dimana kita mencoba menjadi orang baik disaat menjadi salah adalah sesuatu yang wajar, tentu mendapat konsekuen yang tidak mengenakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demikianlah resikonya.
Namun nantikan balasannya di sisi Allah SWT yang luar biasa andai mau bersabar.
Ingatlah janji Allah SWT,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya. Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu. Inilah masa dimana orang-orang yang berpegang teguh dalam Islam bagai memegang bara api.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Baca Juga : Wahdatul-wujud-tidak-menafikan-wujud
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....