DISIPILIN DIRI WALI ABUL HUSAIN AN NURI
Disiplin Diri Wali Abul Husain an Nuri
Abul Husain melakukan disiplin diri seperti yang dilakukan oleh al Junaid. Ia dijuluki Nuri (Manusia yang Memperoleh Cahaya) karena setiap kali ia berbicara di suatu ruangan pada malam yang gelap, dari mulutnya keluar cahaya sehingga seluruh ruangan itu menjadi terang. Alasan lain mengapa ia dijuluki demikian adalah karena ia menjelaskan rahasia-rahasia yang paling pelik dengan cahaya intuisi. Tetapi versi yang ketiga mengatakan bahwa ia mempunyai sebuah tempat menyepi di tengah pada padang pasir, di mana ia biasa shalat sepanjang malam dan apabila ia berada di tempat itu, orang-orang dapat menyaksikan cahaya yang memancar dari tempat itu.
Pada awal kehidupan mistiknya, setiap hari ia keluar rumah pagi-pagi sekali dan pergi ke tokonya untuk mengambil beberapa potong roti untuk dibagi-bagikannya sebagai sedekah. Setelah itu barulah ia pergi ke masjid untuk shalat Shubuh dan tetap di situ sampai tengah hari. Kemudian ia baru pergi ke tokonya. Orang-orang di rumah menyangka bahwa ia telah makan di toko dan orang-orang di toko menyangka bahwa ia telah makan di rumah. Yang demikian dilakukannya secara terus menerus selama dua puluh tahun tanpa seorang pun yang mengetahui perihal yang sesungguhnya.
Mengenai dirinya sendiri, Nuri berkisah sebagai berikut:
Bertahun-tahun aku berjuang, mengekang diri dan meninggalkan pergaulan ramai. Betapa pun aku telah berusaha keras, namun jalan belum terbuka bagiku.
"Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku," aku berkata di dalam hati. "Jika tidak, biarlah aku mati. terlepas dari hawa nafsu ini."
"Wahai jasmaniku," aku berkata, "bertahun-tahun sudah engkau menuruti hawa nafsumu sendiri, makan, melihat, mendengar, berjalan-jalan, mengambil, tidur, bersenang-senang dan memuaskan hasratmu. Sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah ke dalam penjara, akan kubelenggu dirimu dan kukalungkan kepada lehermu segala kewajiban kepada Allah. Jika engkau sanggup bertahan dalam keadaan seperti itu, egkau pasti meraih kebahagiaan. Tapi jika kau tak sanggup maka setidaknya engkau akan mati di atas jalan Allah."
Maka berjalanlah aku di atas jalan Allah. Pernah kudengar bahwa hati para mistik merupakan alat yang amat awas dan mengetahui rahasia segala sesuatu yang terlihat dan terdengar oleh mereka. Karena aku sendiri tak memiliki hati yang seperti itu maka aku pun berkata kepada diriku sendiri, "Ucapan-ucapan para Nabi dan manusia-manusia suci adalah penjara. Mungkin sekali aku telah bersikap munafik dalam usahaku selama ini, dan kegagalanku ini adalah karena kesalahanku sendiri. Di sini tak ada tempat untuk berbeda pendapat. Sekarang aku ingin merenungi diriku sendiri sehingga aku benar-benar mengenalnya."
Maka aku pun merenungi diriku sendiri. Ternyata kesalahanku adalah bahwa hati dan hawa nafsuku bersatu. Bila hati dan hawa nafsu berpadu, celakalah! Karena jika ada sesuatu yang menyinari hati maka hawa nafsu akan menyerap sebagian daripadanya. Sadarlah aku bahwa hal inilah yang menjadi sumber dilemma yang kuhadapi selama ini. Segala sesuatu yang datang dari hadirat Allah ke dalam hatiku, sebagian diserap oleh hawa nafsuku.
Sejak saat itu, segala perbuatan yang diperkenankan oleh hawa nafsuku tidak kulakukan. Yang aku lakukan adalah hal-hal lain yang tak disukainya. Misalnya, apabila hawa nafsuku berkenan jika aku shalat, berpuasa, bersedekah, menyepi atau bergaul dengan sahabat-sahabatku, maka aku melakukan hal yang sebaliknya. Akhirnya segala hal yang diperkenankan hawa nafsuku dapat kubuang dan, rahasia-rahasia mistik mulai terbuka di dalam diriku.
"Siapakah engkau?" aku bertanya.
"Aku adalah mutiara dari Lubuk Tanpa Hasrat," terdengar jawaban. "Katakanlah kepada murid-muridmu, lubukku adalah Lubuk Tanpa Hasrat dan mutiaraku adalah Mutiara dari Lubuk Tanpa Maksud."
Kemudian aku turun ke sungai Tigris dan berdiri di antara dua buah biduk.
"Aku tidak akan beranjak dari tempat ini," aku berkata, "sebelum seekor ikan terjerat ke dalam jalaku."
Akhirnya masuklah seekor ikan ke dalam jalaku. Ketika kuangkat jalaku itu, aku pun berseru, "Alhamdulillah, perjuanganku telah berhasil."
"Abul Husain," Junaid menjawab, "jika yang terjerat oleh jalamu itu adalah seekor ular, bukan seekor ikan, itulah pertanda sebuah karunia. Karena engkau sendiri telah campur tangan. Hal itu hanyalah sebuah tipuan, bukan sebuah karunia. Tanda dari suatu karunia adalah bahwa engkau sama sekali tidak ada di sana lagi."
Nuri di Depan Khalifah
Ketika Ghulam Khalil menyatakan perang terhadap para sufi, ia pergi menghadap khalifah dan mencela mereka.
"Orang-orang telah menyaksikan beberapa kelompok sufi berdendang-dendang, menari-nari dan menghujjah Allah. Sepanjang hari mereka berjalan hilir mudik, dan pada malam hari mereka bersembunyi di dalam kuburan-kuburan di bawah tanah, dan berkhutbah. Sufi-sufi ini adalah manusia bid'ah. Seandainya pangeran kaum Muslimin bersedia mengeluarkan perintah agar sufi-sufi ini dibunuh, niscaya doktrin bid'ah akan musnah, karena sesungguhnya mereka itulah pemimpin-pemimpin para bid'ah. Jika hal ini dilakukan oleh pangeran kaum Muslimin, aku jamin bahwa ia akan memperoleh pahala yang berlimpah."
Khalifah segera memerintahkan agar Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri dan Junaid dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berkumpul, khalifah memerintahkan agar mereka dibunuh. Algojo mula-mula hendak memancung Raqqam tetapi Nuri meloncat, menerjang maju dan berdiri menggantikan Raqqam.
"Bunuhlah aku yang sedang tertawa-tawa bahagia ini terlebih dahulu," kata Nuri.
"Belum tiba giliranmu," jawab si algojo, "sebuah pedang bukanlah sebuah senjata yang harus dipergunakan secara tergesa-gesa."
"Jalanku ini berdasarkan kecintaan," Nuri menjelaskan. "Aku lebih mencintai sahabatku daripada diriku sendiri. Yang paling berbahagia di atas dunia ini adalah kehidupan. Aku ingin memberi beberapa saat kehidupan kepada saudara-saudaraku ini, karena itulah aku ingin mengorbankan hidupku sendiri, walau aku berpendapat bahwa sesaat di atas dunia adalah jauh lebih berharga daripada seribu tahun di akhirat. Dunia adalah tempat berbakti dan akhirat adalah tempat yang dekat kepada Allah, sedang untuk menghampiri-Nya harus berbakti kepada-Nya."
Ucapan-ucapan Nuri ini disampaikan kepada khalifah yang menjadi sangat kagum karena ketulusan dan kejujuran Nuri itu. Maka diperintahkannya agar hukuman itu ditangguhkan dan persoalan mereka diserahkkan kepada qadhi.
"Mereka tak dapat dituntut tanpa bukti-bukti," si qadhi menjeIaskan. Sesungguhnya si qadhi telah mendengarkan khutbah-khutbah Nuri dan mengetahui keahlian Nuri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Maka berpalinglah ia kepada Syibli. "Akan kutanyakan orang gila ini mengenai suatu bidang yang yang tidak akan sanggup dijawabnya," ia berkata di dalam hati. Baca Juga : Kisah-tokoh-sufi-imam-sari-as-saqathi
"Berapakah yang dizakatkan seseorang bila ia memiliki uang dua puluh dinar?" si qadhi bertanya kepada Syibli.
"Dua puluh setengah dinar," jawab Syibli.
"Siapakah yang menetapkan zakat sebesar -itu?" si qadhi menanya.
"Abu Bakar yang agung," jawab Syibli. "la memberikan semua yang dimilikinya sebanyak empat puluh ribu dinar sebagai zakat." Jawab Syibli.
"Ya, tetapi mengapakah engkau tadi menambahkan setengah dinar?"
"Sebagai denda," jawab Syibli. "Ia telah menyimpan uang dua puluh dinar dan oleh karena itu ia harus membayar setengah dinar sebagai dendanya."
Kemudian si qadhi berpaling kepada Nuri dan mempertanyakan sebuah masalah hukum. Nuri segera memberi sebuah jawaban yang membuat si qadhi bingung, Nuri memberi penjelasan:
"Qadhi, engkau telah mengajukan semua pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi tak satu pun di antaranya yang penting. Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang berdiri karena Dia, yang berjalan dan beristirahat karena Dia, yang hidup karena Dia dan berdiam diri merenungi-Nya. Apabila sesaat saja mereka berhenti merenungi-Nya niscaya binasalah mereka. Melalui Dia mereka tidur, Melalui Dia mereka makan, Melalui Dia mereka menerima, berjalan, melihat, mendengar dan melalui Dia mereka ada. Inilah ilmu yang sesungguhnya, bukan yang engkau pertanyakan itu."
Si qadhi terbungkam tak dapat berkata apa-apa. Kemudian ia mengirim surat kepada khalifah.
"Jika orang-orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang-orang yang tiada bertuhan dan bid'ah maka keputusanku adalah bahwa seluruh dunia ini tiada seorang pun yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa."
Khalifah memerintahkan agar tahanan-tahanan itu dibawa ke hadapannya.
"Adakah sesuatu hal yang kalian inginkan?" khalifah bertanya kepada mereka.
"Ada," mereka menjawab. "Kami ingin agar engkau melupakan kami. Kami ingin agar engkau tidak memuliakan kami dengan restumu dan tidak mengusir kami dengan murkamu, karena bagi kami, kemurkaanmu itu sama dengan restumu, dan restumu itu sama dengan kemurkaanmu."
Khalifah menangis dengan hati yang tersayat dan membebas¬kan mereka dengan segala hormat.
Anekdot-Anekdot Mengenai Diri Nuri
Ketika Nuri melihat seseorang yang sedang shalat sambil memutar-mutar kumisnya.
"Janganlah engkau sentuh kumis Allah," Nuri menghardiknya.
Seruan itu dilaporkan orang kepada khalifah. Ahli-ahli hukum sudah sepakat bahwa ucapan seperti itu, berarti Nuri telah tergelincir ke dalam kekafiran. Oleh karena itu Nuri dihadapkan kepada khalifah.
"Benarkah engkau telah mengucapkan kata-kata seperti itu?" tanya khalifah.
"Allah," jawab Nuri, "Siapakah yang memiliki kumis hamba-Nya itu?" Nuri melanjutkan.
"Dia yang memiliki si hamba," jawab khalifah.
Di kemudian hari khalifah berkata, "Aku bersyukur kepada Allah karena Dia telah mencegahku untuk membinasakan Nuri."
"Di kejauhan yang tak terlihat, nampaklah olehku sebuah cahaya." Nuri berkata, "Aku terus menatapnya hingga aku sendirilah yang menjadi cahaya itu."
Pada suatu hari Junaid pergi mengunjungi Nuri. Sesampainya di rumah Nuri. Nuri menyambut kedatangannya dengan merebahkan diri di depan Junaid. Kemudian Nuri mengeluh karena ia telah diperlakukan secara tak adil.
"Perjuanganmu semakin berat, sedangkan engkau sudah kehabisan tenaga. Selama tiga puluh tahun ini, apabila Dia ada maka aku pun tiada, dan apabila aku ada, maka Dia pun tiada. Ada-Nya adalah tiadaku. Semua permohonan-permohonanku dijawab-Nya dengan Aku sajalah yang ada, atau engkau saja,"'
Junaid berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Saksikanlah oleh kalian seorang manusia yang telah mengalami percobaan yang sedemikian beratnya dan telah bingung dibuat Allah."
Kemudian Junaid berpaling kepada Nuri dan berkata, "Memang begitulah seharusnya. Dia tertutup oleh engkau. Apabila ia terlihat melalui engkau maka engkau menjadi tiada dan segala yang ada adalah Dia."
Beberapa sahabat mengunjungi Junaid dan berkata, "Telah beberapa hari ini, baik siang maupun malam, dengan membawa sebuah batu di tangannya Nuri berjalan hilir mudik sambil berteriak-teriak, Allah, Allah. Dan selama itu ia tidak makan, tidak minum dan tidak tidur tetapi ia tetap melakukan shalat tepat pada waktunya dan tak pernah melalaikannya."
Kemudian mereka berkata, "la masih waras dan belum beralih ke dalam keadaan lupa diri. Hal ini terbukti karena ia masih ingat kapan harus mengerjakan shalat dan masih dapat mengerjakannya. Itulah tanda bahwa ia masih sadar dan belum lupa diri. Seseorang yang telah lupa diri takkan sadar akan sesuatu pun."
"Bukan demikian halnya," Junaid menjawab. "Semuanya yang kalian katakan itu tidak benar. Sesungguhnya manusia-manusia yang memuji-muji Allah, mereka akan dipelihara, dan dijaga Allah agar mereka tidak lalai beribadah kepada-Nya apabila tiba saatnya bagi mereka untuk beribadah."
Junaid kemudian pergi mengunjungi Nuri.
"Abul Husain," ia berkata kepada Nuri, "jika engkau memang tahu bahwa dengan berteriak-teriak itu Allah berkenan kepadamu, katakanlah kepadaku agar aku akan berteriak-teriak pula. Jika engkau memang tahu bahwa kepuasan bersama Dia adalah lebih baik, maka pergilah menyepi sehingga bathinmu memperoleh damai."
Nuri segera menghentikan teriakan-teriakannya itu. "Engkau memang seorang guru sejati," katanya kepada Junaid.
Syibli sedang berkhutbah ketika Nuri masuk dan berdiri di sisinya.
"Sejahterakanlah engkau wahai Abu Bakar!" Nuri mengucap salam kepada Syibli.
"Semoga engkau pun memperoleh sejahtera, wahai pangeran di antara manusia-manusia yang murah hati," Syibli inembalas salamnya.
Nuri berkata, "Allah Yang Maha Besar tidak senang terhadap seorang berilmu yang mengajarkan ilmunya sedang ia sendiri tidak melaksanakannya. Jika engkau melaksanakan hal-hal yang engkau ajarkan ini tetaplah di atas mimbar itu. Jika tidak, turunlah."
Syibli merenung. Ternyata ia sendiri tidak melaksanakan hal-hal yang dikhutbahkannya itu. Oleh karena itu ia pun turun dari atas mimbar itu. Selama empat bulan ia mengunci diri dan tak pernah keluar dari rumahnya. Kemudian dengan berbondong-bondong orang mendatangi Syibli, membawa dan menyuruhnya berbicara di atas mimbar. Hal ini terdengar oleh Nuri dan ia pun segera ke tempat itu.
"Abu Bakar," Nuri berseru kepada Syibli. "Engkau menyembunyikan kebenaran dari mereka, jadi wajarlah apabila mereka menyuruhmu berbicara di atas mimbar. Aku sendiri dengan setulus hati tidak mencoba menasehati mereka tetapi mereka mengusirku dengan lontaran batu dan melemparkanku ke tempat sampah."
"Wahai pangeran dari manusia-manusia yang murah hati, apakah nasihat yang hendak kau sampaikan itu apakah kebenaran yang aku sembunyikan itu?" Syibli bertanya kepada Nuri.
"Nasehatku," Nuri menjawab, "biarkanlah manusia pergi kepada Tuhannya, Rahasia yang engkau sembunyikan adalah bahwa engkau menjadi sebuah tirai yang memisahkan Allah dari manusia. Siapakah engkau ini sebenarnya sehingga engkau menjadi penengah di antara Allah dengan ummat manusia sedangkan menurut pandanganku engkau belum patut dimuliakan seperti itu.
Nuri duduk bersama seseorang. Keduanya, menangis tersedu-sedu. Ketika orang itu telah pergi, Nuri berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bertanya, "Tahukan kalian siapakah orang tadi?"
"Tidak," jawab mereka.
"Dia itulah Iblis," Nuri menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya, "tadi ia mengisahkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya dan riwayat hidupnya, kemudian ia meratapi kedukaan hatinya karena telah berpisah dari Allah. Seperti yang telah kalian saksikan si Iblis menangis dan aku pun turut menangis beserta dia."
Ja'far al Khuldi berkisah, Nuri sedang berdoa di suatu tempat yang terpencil, aku dapat mendengar apa-apa yang diucapkannya.
"Ya Allah," Nuri berkata di dalam doanya, "Engkau menghukum penghuni-penghuni neraka. Semua mereka adalah ciptaan-Mu, melalui kemahatahuan-Mu, kemahakuasaan-Mu dan kehendak-Mu sejak sedia kala. Jika Engkau memang menghendaki manusia ke dalam neraka, Engkaulah yang berkuasa untuk melemparkan mereka ke dalam neraka dan mengantarkan mereka ke dalam surga."
Aku takjub mendengar kata-kata itu. Kemudian pada suatu malam aku bermimpi. Dalam mimpi itu seseorang datang menjumpaiku dan berkata, "Allah memerintahkan: 'Katakanlah kepada Abul Husain, sesungguhnya Aku telah memuliakanmu dan menaruh belas kepadamu karena doamu itu."
Nuri meriwayatkan pada suatu malam ketika kulihat tidak seorang pun yang berada di sekitar Ka'bah aku pun berjalan mengelilingnya. Setiap kali melalui Hajarul Aswad aku melakukan shalat dan berdoa, "Ya Allah, berikanlah kepadaku suatu kehidupan dan suatu sifat yang kekal."
Kemudian pula pada suatu hari terdengarlah olehku sebuah seruan dari dalam Ka'bah, "Abul Husain, apakah engkau hendak menyamai-Ku? Aku tidak berubah dari sifat-Ku, tetapi aku membuat hamba-hamba-Ku bergerak dan berubah. Hal itu kulakukan agar ketuhanan menjadi jelas berbeda dari penghambaan. Hanya Aku sajalah yang kekal di dalam satu sifat sedang sifat manusia senantiasa berubah."
Syibli meriwayatkan: Aku pergi mengunjungi Nuri. Aku dapati ia sedang bermeditasi dan tak sehelai rambutnya pun yang bergerak.
"Dari siapakah engkau belajar meditasi yang seperti ini?" aku bertanya kepadanya.
"Dari seekor kucing yang duduk di lobang tikus," jawab Nuri, "binatang itu malah lebih tenang daripada aku."
Pada suatu malam penduduk Qadisiyah gempar mendengar berita "Seorang sahabat Allah terkurung di Lembah Singa. Selamatkan dia!"
Semua orang bergegas ke Lembah Singa. Di sana mereka menemui Nuri sedang duduk di pinggir lobang kuburan yang telah digaIinya sendiri, sedang singa-singa duduk mengurung dirinya. Orang-orang menyelamatkan Nuri dan membawanya kembali. Sesampainya di Qadisiyah mereka bertanya kepadanya apakah sebenarnya yang telah terjadi.
"Setelah beberapa lama aku berpuasa," Nuri mengisahkan, "Ketika aku berjalan di padang pasir itu terlihatlah olehku sebuah pohon kurma. Aku ingin sekali mencicipi buah kurma yang segar itu. Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Ternyata masih ada hasrat di dalam hatimu. Akan kumasuki Lembah Singa ini agar engkau dicabik-cabiknya sehingga engkau tidak bisa menginginkan kurma lagi."'
Nuri mengisahkan, suatu hari ketika aku sedang mandi di sebuah telaga, seorang pencuri melarikan pakaianku. Belum sempat aku keluar dari telaga itu, si pencuri telah kembali untuk menyerahkan pakaian itu kepadaku lagi. Ternyata tangannya terkena sampar. Aku berseru, "Ya Allah, karena ia telah mengembalikan pakaianku maka sembuhkanlah tangannya!"
Sesaat itu juga tangannya sembuh.
Pasar budak di kota Baghdad terbakar dan banyak orang yang terbakar hidup-hidup. Di dalam sebuah toko, dua orang budak Yahudi yang tampan terkurung api.
Pemiik budak itu berteriak-teriak, "Siapa saja yang dapat menyelamatkan mereka, akan kuberi seribu keping dinar emas."
Tetapi tak seorang pun berani mencoba menyelamatkan budak-budak itu. Pada saat itu muncullah Nuri dan terlihat olehnya kedua budak yang masih muda itu berteriak-teriak meminta tolong.
Sambil mengucapkan "Dengan nama Allah Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang" Nuri mencebur ke dalam lautan api itu dan menyelamatkan keduanya. Kemudian pemilik budak-budak itu hendak memberi seribu dinar emas seperti yang telah dijanjikannya, kepada Nuri.
"Simpanlah emas-emasmu itu," Nuri menolak, "Berterima kasihlah kepada Allah. Sesungguhnya kemuliaan yang telah diberikan kepadaku ini adalah karena aku tidak mau menerima emas dan menukar akhirat dengan dunia."
Pada suatu hari ada seorang buta mengeluh, "Ya Allah, Ya Allah."
Nuri lalu menghampiri orang buta itu dan berkata, "Apakah yang engkau ketahui tentang Allah? Seandainya pun engkau telah mengenal-Nya mengapakah engkau masih hidup?"
Setelah berkata demikian kesadaran Nuri hilang dan daranya dipenuhi oleh hasrat mistis. Maka berjalanlah ia menuju padang pasir melalui padang alang-alang yang baru ditebas sehingga aku dan tubuhnya penuh luka. Dari setiap tetes darahnya yang tertumpah ke atas tanah terdengarlah suara: "Ya Allah, Ya Allah."
Abu Nashr bin Sarraj mengatakan, ketika orang-orang membawa Nuri pulang dari padang alang-alang itu mereka berkata kepadanya: "Katakanlah, tiada Tuhan selain Allah."'
Nuri menjawab, "Aku justru sedang menuju kepada-Nya."
Dan tidak lama kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sumber:
Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar.
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
https://siulantribunmaniapontianak.blogspot.com/?m=1
BalasHapushttp://otobemoberodatiga.blogspot.com/?m=1
BalasHapus