SETAHUN PEMECATAN FAHRI HAMZAH: MENELISIK SISI RASIONALITAS
SETAHUN PEMECATAN FAHRI HAMZAH: MENELISIK SISI RASIONALITAS
Oleh: Bambang Prayitno (Alumni KAMMI)
Akhirnya, saya harus mengatakan. Memang benar apa yang disampaikan oleh Muhammad Sohibul Iman, Presiden PKS, lewat cuitan di akun twitternya pada 12 Maret 2017, tiga hari lalu; “Benar, tidak ada manusia (yang) rasional sempurna, semua terbatas (boundedly rational). Karena itu tak heran ‘orang-orang rasional’ pun bertindak konyol”.
Ini pernyataan deja vu, seperti mengkonfirmasi alasan kejadian setahun lalu, yang akhirnya membuat kita mahfum; bahwa kekonyolan oknum petinggi PKS yang mengambil langkah memecat Fahri Hamzah, disebabkan karena sifat manusia yang penuh dengan keterbatasan. Pun dengan rasionalitasnya.
Ada unsur lain yang mempengaruhi seluruh keputusan yang diambil saat itu. Keputusan yang membuat kaget mayoritas pengurus dan kader PKS. Semuanya diselubungi pikiran tak percaya. Tapi seperti itu kejadiannya. Ada sesuatu yang lain diluar rasionalitas kita untuk mencerna keputusan oknum petinggi PKS pada 20 Maret 2016 itu.
Perlahan tapi pasti, kita mulai menerka dengan keyakinan melebihi hari-hari sebelumnya. Bahwa ada rasionalitas yang buntu dan menemui ‘titik batasnya’. Sohibul Iman mengistilahkan dengan ‘boundedly rational’. Ada dinding bernama lain yang harus kita jelaskan. Ada sesuatu yang ikut campur tangan dan meracuni basis rasionalitas oknum petinggi PKS pada saat itu.
Karena alasan apapun yang disampaikan oknum petinggi PKS termasuk tulisan panjang di laman resmi PKS pada akhir Maret 2016 dan direvisi pada tanggal 4 April 2016, berjudul “Tentang Pelanggaran Disiplin Partai yang Dilakukan Saudara Fahri Hamzah” yang berisi kronologi peristiwa hingga pemecatan Fahri Hamzah, satu persatu terbantahkan. Bahkan dalam persaksian di depan hakim dalam sidang gugatan Fahri atas keputusan PKS, beberapa kronologi yang tertera di laman resmi itu terbukti bohong dan dibuat-buat atau diada-adakan.
David Wechsler, psikolog terkemuka Abad 19 yang banyak membuat alat uji intelijensia manusia, merumuskan bahwa akumulasi dari proses berpikir yang rasional menghasilkan kemampuan mental yang disebut intelijensia. Intelijensia akan nampak dan disimpulkan dari berbagai tindakan dalam banyak kasus. Intelijensia sebagai simpul dari rasionalitas dipengaruhi oleh lima faktor yang saling bertalian dari dalam diri manusia; termasuk manusia sebagai makhluk politik. Yaitu, pembawaan, kematangan, pembentukan, interes dan faktor keterikatan.
Kita bisa membedahnya dalam tinjauan psikologi. Pertama, kemampuan untuk berpikir rasional pada diri manusia termasuk dalam mengambil keputusan penting itu ada hubungannya dengan faktor ‘heredity’. Proses pewarisan kondisi emosi seorang manusia, termasuk sifat dan ciri yang dibawa sejak lahir berkelindan dengan faktor pengetahuan dan kematangan itu mempengaruhi sikap dari seorang manusia pada suatu masalah.
Makanya kita tak perlu heran kalau misalnya ada oknum petinggi PKS yang mungkin hapalan Qur’annya banyak, dalam menanggapi kasus Fahri Hamzah, ia dengan emosional -bahkan sangat ekspresif mirip orang kesetanan- langsung memvonis dan menganalogikan Fahri Hamzah dengan kedurhakaan pada orangtua dengan konsekuensi akan mirip nasibnya dengan pendurkaha lain yang dikutuk jadi batu. Analogi yang tak relevan. Sikap petinggi PKS yang meledak-ledak dan menyeramkan itu adalah karakter. Pembawaan yang merupakan bagian dari ekspresi ketidakrasionalan dan kekerdilan intelijensianya. Tentu saja bisa kita bayangkan sumbangsih emosi apa yang oknum seperti ini berikan dalam proses pemecatan Fahri Hamzah.
Faktor kedua yang mempengaruhi rasionalitas adalah kematangan. Dalam susunan kronologi yang disampaikan oleh Pimpinan PKS dan dikomparasikan dengan kronologi yang disampaikan oleh Fahri Hamzah, kita mendapati dua titik terang persitiwa. Peristiwa pertama, kalahnya Anis Matta dalam pemilihan Presiden Partai dan diikuti oleh tersingkir dan mundurnya orang-orang yang selama ini dekat. Peristiwa kedua, pelengseran Fahri Hamzah dari kursi Pimpinan DPR dan berbagai skenario yang akhirnya berujung pada pemecatan dari seluruh jenjang keanggotaan.
Pada dua peristiwa ini, kita menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, konflik politik dan faksi di PKS itu nyata. Kedua, PKS sepertinya belum matang dalam memformulasikan resolusi dari perbedaan antar kelompok di tubuhnya. Permainannya selalu “zero sum games”. Tidak “non zero sum games”. Istilah politiknya; tidak elegan.
Kesimpulan ketiga, pada akhirnya mayoritas kader PKS di seluruh Indonesia berada di titik kesimpulan yang sama; bahwa oknum pimpinan PKS itu berada dalam situasi yang istilah jawanya, “nyebai”. Menyebalkan. Hanya karena Fahri Hamzah mengajak berdialog dan menchallenge argumen sebuah keputusan besar, kok ditanggapi dengan “baper” lalu dibuat skenario macam-macam yang ujungnya pemecatan. Tapi memang seperti itulah “zero sum game”. Menang dan habisi lawannya. Dan itulah tanda bahwa dalam keputusan Fahri Hamzah, faktor ketidakmatangan memperlihatkam diri sebagai racun dari basis rasionalitas partai yang katanya mengusung persaudaraan sebagai jiwa perjuangannya.
Faktor ketiga yang mempengaruhi rasionalitas adalah pembentukan dalam karakter. Jika kita memperhatikan petinggi PKS hari ini yang turut memberi saham bagi pemecatan Fahri Hamzah, maka kita tidak menemukan satupun anggota DPTP PKS yang memiliki pengalaman lapangan politik yang matang. Semuanya adalah “scholar”, pembaca buku di ruangan dan minim sekali berinteraksi dengan hari-hari pergerakan.
Mental sebagai aktivis “dalam ruangan” ini di satu sisi memiliki kelebihan dalam keluasan pengetahuan, tapi di sisi lainnya merugikan karena tak update dengan situasi dan perkembangan politik yang sifatnya dinamis. Pada titik inilah, masukan dari lapangan yang salah akan mempengaruhi keputusan yang salah karena ketidakmampuan untuk me-ricek situasi luar yang sebenarnya. Dan disitulah pertanyaan kita bertemu; mengapa Petinggi PKS seperti tak mengindahkan suara arus bawah kadernya, puluhan ribu pengurusnya, puluhan anggota Majelis Syuro PKS yang memperingatkan bahwa keputusan pemecatan Fahri Hamzah adalah sebuah kesalahan.
Faktor yang keempat adalah interest. Atau minat. Mental dan karakter dari aktivis pergerakan “dalam ruangan”, adalah sifatnya yang selalu menginginkan untuk save, nyaman, tenang, tak ada riak, tak ada gejolak dan menepi dari keriuhan. Itulah sebabnya, sejak keriuhan kader paska pemilihan Ketua Majelis Syuro di Agustus 2015, dan terpilihnya Habib Salim, nyaris sejak saat itu tak ada narasi yang menggugah yang mampu membangkitkan semangat kader PKS. Kata-kata keberkahan selalu diulang. Tak mau berkonflik dengan pemerintah, tak mampu membangun kekuatan tanding di DPR. Tenang dan damai.
Orang-orang muda yang kreatif dan penuh inisiatif politik semacam Anis Matta, Mahfudz Shiddiq, Aboebakar dan Fahri Hamzah yang lincah di lapangan politik itu tentu saja amat mengganggu suasana jiwa mayoritas pimpinan PKS yang memang menginginkan ketenangan. Dan penyingkiran orang-orang muda nan kreatif di PKS itu adalah puncak dari wajah interest penguasa PKS sekarang yang menginginkan stabilitas di dalam tubuh PKS. Walaupun, pada titik ini, Pimpinan PKS saya kira salah juga mendefinisikan ketenangan sebagai stabilitas.
Faktor kelima yang mempengaruhi rasionalitas seseorang atau kelompok orang dalam mengambil keputusan adalah keterikatan atau ketidakterikatannya pada sesuatu. Jika ia bebas, maka berarti seseorang atau kelompok orang dapat memilih metode dan cara tertentu dalam memecahkan masalah. Termasuk dalam menentukan pintu keluar konflik dan mengambil keputusan politik.
Pada pijakan inilah kita semua percaya bahwa oknum pimpinan PKS sekarang ini tersandera oleh ikatan-ikatan yang tidak dinampakkan, tapi terasa itu. Entah ikatan kepada penguasa, ikatan perjanjian dengan oknum yang dianggap lebih kuat dan berkuasa dari Ketua Majelis Syuro, atau ikatan pada masalah hukum yang membuat keputusan dan ijtihad memecat Fahri Hamzah nampak tidak elegan, tidak matang, terburu-buru dan penuh dengan kejanggalan.
Penutup. Baca juga Noblesse-oblige
Pada tanggal 23 Oktober 2015, Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al-Jufri meminta Fahri Hamzah mundur sebagai Wakil Ketua DPR. Karena merasa ada yang janggal, Fahri kemudian bertanya; “Syaikh (orangtuaku, guruku), antum ditekan ?”.
Tiga hari yang lalu, tanggal 12 Maret 2017, hampir satu setengah tahun kemudian kita mendengar jawabannya dari Muhammad Sohibul Iman; “Benar, tidak ada manusia (yang) rasional sempurna, semua terbatas (boundedly rational). Karena itu tak heran ‘orang-orang rasional’ pun bertindak konyol”. Sumber : Internet B
Jakarta, 15 Maret 2017
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....