CATATAN PERJALANAN KE PONTIANAK BUMI KHATULISTIWA
Bagian 3. Narasi, Energi dan Refleksi (Kutipan-Kutipan Pidato dan Nasihat Fahri Hamzah di Pontianak)
a. Narasi Pasca Reformasi
Mari sejenak kita tinggalkan Jakarta. Kita tinggalkan berbicara tentang Ahok dan berbagai macam permasalahan yang dibuatnya. Indonesia bukanlah Jakarta saja. Kita bedah mindset kita dan pandanglah dengan pandangan yang luas tentang Indonesia. Indonesia adalah tuju belas ribu pulau. Dengan berbagai macam masalahnya. Semuanya mesti mendapatkan perhatian kita semua. Tapi ini juga kesalahan kita semua. Seolah-olah Indonesia adalah Jakarta saja. Media sudah terlalu lama membiarkan pikiran kita disetir untuk hanya melihat dan memperhatikan Indonesia. Perputaran uang 70 persen ada di Jakarta. Seluruh masalah politik seolah-olah diselesaikan di Jakarta. Media berkantor di Jakarta dan malas meliput masalah daerah. Sehingga pembicaraan kita tak jauh-jauh dari Jakarta.
Kita tahu bahwa Reformasi telah melahirkan otonomi. Diluar seluruh masalah yang terjadi pada perjalanan otonomi kita, tapi kita melihat bahwa daerah, mulai provinsi, kabupaten, bahkan hingga desa telah menikmati apa yang kita sebut kemandirian. Sekarang dana desa telah mencapai rata-rata 1 Milyar rupiah. Dan kalau kita bisa mengarahkan seluruh desa untuk mengelola dana tersebut dengan tepat, maka kemakmuran seluruh desa di Indonesia akan tercapai. Negara sekarang relatif stabil. Gejolak tidak terjadi. Karena daerah-daerah termasuk sampai desa telah menikmati transfer dana yang bisa digunakan untuk kemakmuran rakyatnya. Begitu juga seluruh daerah. Tapi kita menghadapi berbagai masalah. Ini yang kita sebut, narasi pasca reformasi.
Pertama. Daerah mendapatkan transfer dana dari pusat yang sumber utama keuangan kita adalah dari pajak. 75 persen pendapatan negara adalah berasal dari pajak. Dan 75 persen dari seluruh pemasukan pajak, berasal dari sumber daya alam. Indonesia mengambil banyak dari Kalimantan. Kalimantan adalah penyumbang terbesar pemasukan negara kita. Apa yang ada di dalam bumi diambil. Apa yang ada dikerak bumi diambil. Apa yang ada diatas bumi diambil. Semua isi bumi Kalimantan diambil untuk menghidupi bangsa. Tapi sampai kapan kita tergantung pada sumberdaya alam ?. Sekarang harga komoditi sedang hancur. Ekonomi dunia sedang hancur. Dan akibatnya subsidi dicabut. Transfer daerah berkurang drastis. Semua daerah resah.
Kedua. Seberapa lama sumberdaya alam kita mampu bertahan. Sebab kita semua tahu bahwa sumberdaya alam kita yang selama ini diambil adalah sumberdaya alam yang tak terbarukan. Minyak dan batubara kalau sudah habis ya habis. Kayu lambat untuk kita panen lagi. Maka pertanyaan kita selanjutnya adalah, sudahkah kita menyiapkan sesuatu untuk mengkonversi sumber dari pendapatan nasional kita dari sumberdaya alam ke sumber-sumber lainnya yang bertopang pada sumberdaya manusia. Kalau itu gagal kita rencanakan, maka kita merencanakan kegagalan negara kita.
Marilah kita yang di daerah ini jangan minder dengan Jakarta. Sekarang, dengan adanya otonomi sampai ke desa, daerah seharusnya bisa kuat dari Pusat. Kita buktikan bahwa kemandirian daerah bisa benar-benar terwujud. Masa depan Indonesia adalah apabila dan jika sumberdaya manusia daerah mampu menghasilkan keuntungan daerah dan bisa membiayai pembangunan daerahnya. Tidak lagi tergantung pada sumberdaya alamnya.
Kalau kita melihat negara-negara dengan ranking pendapatan negara yang luar biasa, misalnya Singapura kita ambil contoh. Tidak ada sumberdaya alamnya. Mereka mengandalkan sumberdaya manusia. Singapura bisa survive dan memimpin ekonomi di kawasan Asia, karena SDM-nya memanfaatkan peluang dan kekayaan alam yang kita miliki. Kita menjadi tempat eksploitasi orang-orang luar. Lalu pertanyaannya, apa bedanya jaman dulu dengan sekarang?. Ketika negara kita dieksploitasi sumberdaya alamnya dan pembangunan tidak dilakukan oleh manusia Indonesia sendiri.
Itu semua adalah narasi besar Indonesia pasca Reformasi. Narasi kemandirian bangsa dan seluruh daerah dan itu semua adalah buah dari reformasi yang kita perjuangkan bersama. Ini adalah jasa dari anak-anak muda yang datang kepada kekuasaan sembilan belas tahun yang lalu dan meminta kekuasaan yang sentralistik itu dihentikan lalu otonomi diberlakukan. Lalu kita menikmati itu semu. Tapi kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus menulis sejarah reformasi kedepan. Pena sejarah tidak boleh diserahkan kepada orang lain. Kitalah yang harus menulis sejarah kita sendiri. Menuju kejayaan bangsa kita kedepan.
b. Energi Kebangkitan Bangsa Ini
Ada problem lain dari bangsa ini yang juga menjadi keresahan kita bersama. Dulu, bangsa ini bersatu; seluruh kerajaan di daerah menyatukan diri dan menyerahkan diri kepada pemerintahan kita, karena ada gagasan, semangat dan energi besar yang menyatukannya. Kerajaan Tidore bahkan menyumbangkan wilayahnya, yang luasnya kini sepertiga dari total wilayah Indonesia. Kalau kita telusuri, ternyata gagasan kebangsaan kita yang dikumandangkan oleh founding fathers kita dan terutama disampaikan oleh Soekarno di awal-awal Indonesia merdeka, justru Soekarno menyampaikan gagasan Pancasila yang persis dengan Maqashid Asy-Syariah (Tujuan Pemberlakuan Hukum Islam). Itulah yang menjadi energi dari bangsa kita untuk bersatu pada awal pendiriannya.
Sekarang banyak orang yang bingung dengan pemimpin kita. Ini orang bicara apa. Kita tidak tahu energi apa yang mengiringi kalimat dan petuahnya. Seperti tidak punya energi. Pemimpin menyampaikan sekulerisme, liberalisme. Dan itu jauh dari mimpi nenek moyang kita ketika memulai mendirikan sebuah negara bangsa bernama Indonesia. Orang-orang di daerah, mereka semua gelisah. Kekuatan religiusitas adalah kekuatan utama dari bangsa ini. Dan itu wajib kita pelihara sebagai sumber energi bangsa ini. Kalau kita melihat Indonesia sekarang tidak punya energi, karena pemimpinnya jauh dari sumber energi bangsa. Energinya hilang karena berada ditangan orang-orang yang tidak mampu menyalakan api Indonesia.
Indonesia akan mengalami guncangan-guncangan besar setiap duapuluh tahun. Sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2018. Kita bersiap dengan guncangan yang akan terjadi. Tapi kita juga mesti merumuskan juga bagaimana agar bangsa kita bisa terbang kembali seperti gagahnya burung garuda. Anak-anak muda harus merumuskan sendiri masa depan bangsa ini. Kita tinggalkan mereka yang tak berani dan tak sanggup untuk menghadapi guncangan dan tak punya gagasan kebangkitan bangsa ini. Kalau kita benar memilih pemimpin kita di tahun 2019, maka Indonesia akan terbang dengan gagah.
Kalau kita memiliki pemimpin yang memiliki energi, maka orang-orang akan berkumpul. Mereka datang dan bersatu. Seperti magnet. Mereka disatukan oleh kata-kata pemimpinnya. Seperti halnya Soekarno dulu. Yang mampu meledakkan seluruh semangat bangsa dengan kata-katanya. Tidak seperti sekarang. Bangsa dan rakyat kita hari ini seperti terhuyung-huyung tidak jelas mau kemana. Seperti tidak punya pandangan yang jauh dari perjalanan bangsanya. Semua disibukkan oleh aktivitas negatif yang menjalar. Perkelahian antar kampung, narkoba, pergaulan bebas dan seterusnya. Kita seperti tak memiliki energi untuk maju.
Harus ada dibenak kaum muda, bahwa Indonesia harus diterbangkan kembali. Dan kita bersiap-siap untuk itu.
c. Refleksi Gerakan Islam
Yang membuat gerakan politik Islam kita tidak mengalami kemajuan secara elektoral adalah, karena yang pertama, bagian-bagian dalam tradisi sufisme gerakan Islam dicampuradukkan dengan budaya berpolitik kita. Kita bisa melihat misalnya, penghormatan yang luar biasa kepada pemimpin partai dengan sebutan ustadz dan dengan sikap ta’dzim yang luar biasa. Sehingga hierarki itu terbentuk. Kita tidak mampu mengkritik secara egaliter karena budaya tersebut sudah mencengkeram pikiran kita. Tradisi egalitarian nampaknya belum muncul dalam tradisi berpolitik kita. Sikap kesetaraan antar kader dengan pimpinan dalam bertukar pikiran dan beradu gagasan adalah cara kita menguji sejauh mana gerakan Islam relevan dengan situasi politik hari ini.
Bandingkan misalnya dengan cara Nabi bersikap didepan sahabatnya. Tidak ada penghormatan yang luar biasa. Saat sahabat berdiri ketika nabi datang, maka nabi akan marah. Itu bukanlah tradisi islam kata beliau. Tapi sekarang terbalik. Budaya-budaya penghormatan yang berlebihan sengaja dipelihara untuk menghalangi kader dan pemimpinnya dari saling mengkritik dan saling berdiskusi dengan santai dan tanpa beban. Maka, kalau kita ingin maju dalam gerakan politik, feodalisme ini mesti kita hilangkan. Kita akan jatuh, ketika pemimpin kita sudah mulai menikmati feodalisme yang diciptakan olehnya dan oleh orang-orang di sekelilingnya hanya demi menyenangkan dirinya. Maka kembalilah kepada ajaran Rasul tentang keselarasan dan kesetaraan.
Yang kedua, menghilangkan mistisme jabatan. Bahwa ustadz khabir atau ustadz biasa, atau bahkan kader, semua sama saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang terbebas dari dosa. Tidak ada yang dijamin masuk syurga. Tidak ada yang selalu benar. Dan semuanya bisa dikritik tanpa sekat-sekat keagamaan yang sebenarnya mengganggu. Yang ketiga, tradisikan kembali semangat persaudaraan diantara aktivis pergerakan Islam. Persaudaraan yang tulus. Persaudaraan yang saling menyayangi. Saling menjaga. Yang keempat, gerakan Islam harus mengerti bagaimana cara bernegara dengan benar. Membuktikan komitmen kita pada seluruh perangkat penyelenggaraan negara adalah cara kita untuk menjelaskan niat kita kepada rakyat tentang komitmen kenegaraan kita sebagai gerakan Islam. Ini adalah teladan besar kita kepada rakyat. Sumber : Internet Baca juga Setahun-pemecatan-fahri-hamzah
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....