MENGADILI UJARAN KEBENCIAN, SAAT WASIT TURUN GELANGGANG
MENGADILI UJARAN KEBENCIAN, SAAT WASIT TURUN GELANGGANG
Sejak delik memaki, ujaran kebencian, dll, digiatkan masuk ruang sidang dan dipidanakan, kita terjebak pada debat omong kosong. Seolah kita bangsa yang gak punya sejarah dan kebudayaan. Apa sih yang diributkan? Omong kotor dan memaki itu nyata.
Memaki itu ada sejak manusia ada di dunia, karena dalam keaktifan manusia terjadi persentuhan, secara fisik, akal sampai perasaan. Lalu lahir tensi. Lahir nyala api dan percikan yang tersembur dari mulut yang marah atau kecewa. Kadang ia menjadi katarsis.
Kalau tidak mengumpat atau memaki, mungkin orang bisa membunuh atau menyerang fisik. Biarkan orang marah asalkan jangan menyerang fisik. Bacalah TL saya pada beberapa tulisan kontroversi. Termasuk yang tidak suka dengan memaki juga memaki.
Kadang, memaki adalah cara menenangkan diri. Setelah memaki orang biasa menjadi puas dan tenang setelah melepas energi negatifnya ke angkasa. Maka, melarang orang memaki sama dengan melarang orang bersin. Bersin itu manusiawi sebagai respon atas lingkungan.
Di Indonesia, memaki lebih seru dan beragam. Setiap budaya dan suku bangsa ada cara memaki. Mulai dari yang paling kasar atau terasa kasar ditelinga orang sampai yang terdengar lucu. Semua ada dalam tradisi kita. Dalam diri kita mau diterima atau tidak.
Di media sosial ada sayembara memaki. Anak-anak muda itu ingin membuktikan bawa memaki adalah bagian dari kebiasaan kita di INDONESIA. “Daripada meng-import produk asing; fu*k atau sh*t mendingan pakai yang ada di dalam negeri”, ejek mereka pada kemunafikan kita.
Ada puluhan umpatan seperti “Janc**k!”, “Matamu!”, “Lon** tenan”, “Congore”, “Ndase”, dan “J*mput” dan banyak lagi yang datang dari berbagai daerah menyadarkan kita bahwa memang memaki itu seperti bersin. Ada juga yang memaki habis bersin, anjiiir... kampret... dll, ala anak sekarang.
Jadi, ketika Ahmad Dhani mengatakan “layak diludahi” sehabis mendengar ada pendukung tersangka penista agama atau memaki “idiot” kepada kelompok yang datang menyerbu hotelnya dan menghalanginya ikut sebuah acara, apa salahnya?
Tapi, yang lebih buruk dari pengadilan kata-kata ini adalah karena ia diskriminatif. Pasal yang sama menebas leher si A tapi mengelus-elus si B yang rupanya memiliki kedekatan dengan penguasa. Pertengkaran ini menjadi tak seimbang karena wasit turun gelanggang.
Lalu bangsa disibukkan dengan apa yang disebut Ujaran Kebencian padahal kata dasarnya Hate Speech atau Pidato Kebencian, lalu apa yang tertulis dan terucap dalam forum tertutup atau halaman pribadi pun jadi pidana. Memaki, mengumpat, mengomel jadi pidana.
Padahal ini adalah kontrol sosial, ketika melalui media sosial, untuk pertama kalinya orang dapat mengungkapkan kemarahan pada yang menyalahgunakan kekuasaan negara secara semena-mena atau mengabaikan keadilan, melakukan persekusi dan tindakan di luar batas.
Maka, daripada kita melarang orang bersin, lebih baik mengajarkan reaksi yang benar. Di barat orang memakai kata “sorry” atau “excuse me” lalu yang mendengar mengatakan “bless you” atau “god bless you”. Itu budaya dan tradisi kehidupan.
Orang Islam bersin berucap “alhamdulilah” yang mendengar “Yarhammukallah”. Hampir sama artinya. Ini adab dan tradisi kita. Sama dengan mengajarkan reaksi atas kekecewaan dan sakit hati, jangan memaki tapi ucapkan kalimat yang baik... semua adab tapi jangan dipidana.
Karena kalau konsisten menghukum orang memaki dan mengumpat, lalu semua didorong saling lapor, apa gak habis netizen masuk bui 1,6 tahun? Ayolah tumbuhkan akal sehat kita. Masak gini aja kita gak paham. Sekian.
Sumber : Twitter @Fahrihamzah 7/2/2019 dan Fanspage. Baca juga Bisnis-keagenan-elpiji
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....