NASEHAT NASEHAT DARI ZUN NUN AL MISHRI

Nasihat-nasihat dari Dzun-Nun Al-Mishri
Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di kota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M, dan wafat pada tahun 245 H/859 M. Dzun Nun (“Pemilik Ikan Nun”) termasuk Wali Allah generasi awal, sangat dihormati, kharismatik dan merupakan budayawan dan sastrawan mistik besar pada zamannya. Selain terkenal sebagai sufi, dia juga penyebar hadits-hadits dari Imam Malik, karena belajar langsung kitab al-Muwaththa kepadanya. Dzun Nun juga dikenal sebagai ahli filsafat dan kimia. Ciri kearifan falsafah Dzun Nun tercermin dalam ungkapannya: “Aku mengenal Allah dari Allah, dan aku mengetahui apa yang di samping Allah dari Rasulullah.”

Dalam sebuah paparannya tentang kaum arif atau sufi sejati, Dzun Nun mengatakan:
Sang arif semakin rendah hati (tawadhu) setiap saat, dan setiap saat dia semakin dekat kepada Tuhannya. Kaum Arifin melihat tanpa pengetahuan, tanpa penglihatan, tanpa penggambaran, tanpa halangan dan tanpa tirai. Mereka bukan diri mereka sendiri, tetapi sepanjang keberadaannya mereka itu berada di dalam Tuhan. Gerak-gerik mereka disebabkan oleh Allah dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah-lidah mereka, dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan, yang telah memasuki mata mereka. Demikianlah, Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Jika Aku mencintai hamba-Ku, maka Akulah telinganya yang dengannya dia mendengar, Akulah mata-Nya yang dengannya dia melihat dan Akulah lidahnya yang dengannya dia berbicara, dan Akulah tangannya yang dengannya dia memegang.”

Dzun Nun mempunyai banyak pengikut yang kelak terkenal sebagai sufi besar. Ada dua muridnya yang sangat terkenal. Pertama adalah Yusuf ibn al-Husain (w. 304/916) dari Rayy, Persia, seorang sufi yang terkenal dengan keikhlasannya dan sering mengungkapkan pengalaman-pengalaman mistisnya, dan yang kedua adalah Sahl al-Tustari, salah satu guru Mansur al-Hallaj.

1# Nasihat Dzun-Nun Al-Mishri kepada Yusuf Al-Husain
Siapakah orang yang harus aku jadikan teman duduk?
Hendaklah engkau bergaul dengan orang yang dengan melihatnya saja mengingatkanmu kepada Allah, kemuliaannya berkesan dalam batinmu, perkataannya menambah ilmumu, dan perbuatannya menjadikanmu zuhud di dunia. Ia tidak berbuat maksiat kepada Allah selama engkau berada di dekatnya. Ia mengajarimu dengan lisan dan perbuatannya, dan tidak dengan lisan perkataannya. Ia meninggalkan apa yang menunjukkanmu padanya, yakni bahwa ia tidak memiliki keutamaan dengannya ia mengajarimu, kerena seseorang kadang-kadang mengerjakan perbuatan baik yang dituntut keadaannya. Ia menunjukimu dengan ucapannya pada perbuatan baik yang dituntut kepadamu, tetapi pada waktu yang sama tidak dituntut keadaannya. Dengan perkataannya, ia maksudkan lisan perbuatannya, yakni perbuatan-perbuatannya yang lurus atau adil. Inilah makna firman Allah Swt : Mengapa kamu suruh orang lain melakukan kebajikan sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (QS Al Baqarah 2: 44)

2# Dzun-Nun berkata:
Orang berakal bukanlah orang yang pintar dalam urusan dunianya, tetapi bodoh dalam urusan akhiratnya, bukan orang yang jelek pekerti ketika harus bermurah hati, dan juga bukan orang yang bersikap sombong ketika harus merendahkan diri. Janganlah menjadi orang yang marah pada kebenaran jika dikatakan kebenaran itu kepadanya. Janganlah menjadi orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang disukai orang berakal. Janganlah menjadi orang yang menyedikitkan apa yang banyak dari Penciptanya dan memperbanyak yang sedikit dari apa yang disyukurinya. Janganlah menjadi orang yang menuntut keadilan dari orang lain untuk dirinya, tetapi ia sendiri tidak berlaku adil kepada orang lain. Janganlah menjadi orang yang melupakan Allah ketika harus menaati-Nya, tetapi mengingat Allah ketika berhajat kepada-Nya. 

Janganlah menjadi orang yang menumpuk ilmu sehingga terkenal, tetapi kemudian dipengaruhi hawa nafsunya ketika mempelajarinya. Janganlah menjadi orang yang sedikit rasa malunya kepada Allah atas keindahan hijab-Nya. Janganlah menjadi orang yang lalai bersyukur atas penampakan nikmat-Nya. Janganlah menjadi orang yang lemah dari berjihad melawan musuhnya demi keselamatannya ketika musuhnya memaksakan peperangan kepadanya. Janganlah menjadi orang yang menjadikan harga dirinya sebagai pakaiannya, tetapi tidak menjadikan adab, wara’, dan ketakwaan sebagai pakaiannya. Janganlah menjadi orang yang menjadikan ilmu dan pengetahuannya sebagai perhiasan dalam majelisnya.

Mohon ampunlah kepada Allah jika engkau terlalu banyak bicara. Jika engkau tidak menghentikannya, maka pembicaraan tidak akan terputus. Janganlah engkau keluar dari tiga hal, yakni pandangan pada agamamu dengan keimananmu, berbekal dengan duniamu untuk akhiratmu, dan permohonan tolong kepada Tuhanmu di dalam apa yang Diperintahkan-Nya kepadamu dan yang dilarang-Nya atas dirimu. Barangsiapa memandang dan melihat-lihat aib orang lain, maka ia buta pada aib dirinya sendiri. Barangsiapa memperhatikan Firdaus dan neraka, maka dia dilalaikan dari omongan orang. Barangsiapa lari dari manusia, maka ia terhindar dari kejahatan mereka. Barangsiapa mensyukuri nikmat, maka nikmat bertambah baginya.

3# Nasihat Dzun-Nun kepada Ibrahim Al-Akhmimi
Wahai Ibrahim, jagalah dariku lima hal. Jika engkau menjaganya, maka engkau tidak akan peduli kepada apa yang terjadi sesudahnya. Rangkullah kefakiran, bersifatlah dengan kesabaran, lawanlah keinginan (syahwat), ingkari hawa nafsu, dan takutlah kepada Allah dalam segala urusanmu. Hal itu akan mewariskan kepadamu rasa syukur, kerelaan, ketakutan, pengharapan, dan kesabaran. Yang lima ini akan mewariskan kepadamu lima hal, yakni: ilmu, amal, menunaikan yang fardhu, menjauhi yang haram, dan menepati janji. Engkau tidak akan sampai pada yang lima ini kecuali dengan lima hal, yakni: ilmu yang berlimpah, makrifat yang pasti, hikmah yang berpengaruh, akal yang menembus, dan jiwa yang takut.

Celakalah semua, celaka orang yang diuji dengan, yakni: barang haram, kemaksiatan, menghias diri untuk apa yang dimurkai Allah, menghina manusia dengan apa yang ada pada dirinya. Keburukan yang paling paling jelek adalah: pegangan pada yang jelek, perbuatan yang jahat, membebani punggung dengan dosa, memata-matai manusia dengan apa yang tidak disukai Allah, dan menampakkan kepada Allah apa yang dibenci-Nya.
Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang mengikhlaskan, yakni: yang mengikhlaskan ilmu dan amalnya, yang mengikhlaskan cinta dan marahnya, yang mengikhlaskan bicara dan diamnya, dan yang mengikhlaskan perkataan dan perbuatannya.

Ketahuilah wahai Ibrahim, bahwa sisi halal itu ada lima, yaitu: perniagaan dengan jujur, bekerja dengan ketulusan, perburuan di darat dan di laut, pewarisan barang yang diperoleh secara halal, dan hadiah dari tempat yang engkau relakan. Setiap kesenangan dunia ada kelebihan, kecuali lima hal: roti yang mengenyangkanmu, air yang memuaskanmu, pakaian yang menutupi tubuhmu, rumah yang meneduhimu, dan ilmu yang kau amalkan. Engkau memerlukan juga lima hal, yaitu: keikhlasan, niat baik, taufik, kesesuaian dengan kebenaran, dan makanan dan minuman yang baik.

Hal yang mengandung ketenangan, yaitu: meninggalkan teman yang jahat, kezuhudan di dunia, meninggalkan penghinaan pada hamba-hamba Allah, bahkan engkau tidak menghinakan orang yang berbuat maksiat kepada Allah. Ketika itu, gugurlah darimu lima hal, yaitu: perbantahan, perdebatan, riya’, berhias, dan mencintai kedudukan.

Terdapat lima yang di dalamnya menggabungkan tujuan, yaitu: memutuskan hubungan dengan selain Allah, meninggalkan kelezatan yang mendatangkan hisab, tidak sabar dalam menghadapi sahabat dan musuh, ketenangan, dan meninggalkan penumpukan harta. Lima hal, wahai Ibrahim, yang diharapkan seorang berilmu (‘alim), yaitu kenikmatan yang hilang, bencana yang datang, kematian yang membinasakan, fitnah yang mematikan, atau ketergelinciran kaki setelah tegaknya. Cukuplah bagimu wahai Ibrahim, engkau mengamalkan apa yang engkau telah ketahui.

4# Wasiat Dzun-Nun Al-Mishri kepada Kaum Muda
Wahai pemuda, ambillah senjata celaan bagi dirimu, dan gabungkanlah dengan menolak kezaliman, maka di Hari Kemudian engkau akan memakai jubah keselamatan. Tahanlah dirimu dalam taman ketenteraman, rasakan pedihnya fardhu-fardhu keimanan, maka engkau akan memperoleh kenikmatan surga. Teguklah cawan kesabaran dan persiapkan ia untuk kefakiran hingga engkau menjadi orang yang sempurna urusannya. “Diri mana yang mampu melakukan ini?”

Dzun-Nun menjawab, “Diri yang bersabar atas lapar, yang teringat pada jubah kezaliman, diri yang membeli akhirat dengan dunia tanpa syarat dan tanpa kecuali, dan diri yang berperisaikan kerisauan, yang menggiring kegelapan pada kejelasan. Apa pedulimu dengan diri yang menempuh lembah kegelapan, meninggalkan kegelapan lalu memiliki, memandang akhirat, melihat kefanaan, melalaikan dosa, merasa cukup dengan makanan sedikit, menundukkan pasukan nafsu, dan bersinar dalam kegelapan. Ia bercadarkan kudung berhias, dan menuju kemuliaan dalam kegelapan. Ia meninggalkan penghidupan. Inilah diri yang berkhidmat, yang mengetahui hari yang akan datang. Semua itu dengan taufik Allah yang Mahahidup dan Maha Berdiri Sendiri.”

5# Wasiat Dzun-Nun kepada Saudaranya
Kepada saudaranya, Al-Kifla, Dzun-Nun berkata, “Wahai Saudaraku, jadilah engkau orang yang selalu disifati dengan kebaikan dan jangan menjadi orang yang hanya bisa menerangkan kebaikan-kebaikan saja.” Malik-bin-dinar-dan-seorang-pemuda

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

Posting Komentar

SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

UKRAINA

My blogs

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

SEBASTOPOL

🔂 FOLLOWERS