IMAM JUNAID AL BAGHDADI ULAMA SUFI DAN MISTIKUS MUSLIM
Imam Junaid Al-Baghdadi bin Muhammad Abu Al-Qosim Al-Khazzaz al-Baghdadi (830-910 M) adalah salah satu tokoh besar bagi Persia, beliau adalah mistikus Muslim, atau ulama sufi beragama Islam dan merupakan pusat tokoh dalam rantai emas banyak sufi. Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Di kalangan sufi Al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Thaifah ash-Shûfiyyah.
Awal pendidikan Al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari Al-Saqati, yang juga dikenal sebagai seorang sufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Ketika usianya 20 tahun, Al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqh pada Abu Thawr, sorang faqih kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqh, Al-Junaid beralih menekuni tasawuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tasawuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari Al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan sufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu Al-Junaid dalam sufisme telah cukup matang.
Al-Junaid adalah seorang sufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Kedudukannya di antara para sufi sangatlah terhormat, bahkan Sari Al-Saqati sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya pada Sari Al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tasawuf?” Sari Al-Saqati menjawab, “Tentu saja dapat, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tasawuf Al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.” Syekh Junaid Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya. Syekh bertanya bagaimana kabar bahlul yang gila ?
Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari dia?”
Para murid mencari Bahlul dan menemukannya di padang pasir. Mereka membawa Syekh Junaid kepadanya, ketika Syekh Junaid pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu bata ada dibawah kepalanya (posisi kepala dibawah) Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qosim?” Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Syekh Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ”
“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah Anda bagaimana cara makan?”
“Ya!” Saya mengucapkan Bismillah (Dengan mengucap nama Allah SWT). Saya makan yang paling dekat dengan saya, Saya mengambil gigitan kecil, meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan mengunyah pelan-pelan. Saya tidak nampak ke gigitan yang lain. Saya mengingat Allah SWT saat makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya pada Syekh, dan berkata,
”Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia tapi Anda tidak mengetahui bagaimana cara makan.” setelah mengucapkannya, dia langsung pergi.
Para Murid Syekh berkata, “O Syekh! Dia orang yang gila.”
Syekh menjawab, Dia adalah orang gila yang sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya.
Setelah mengucapkan Beliau pergi dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.”
Ketika Bahlul mencapai bangunan yang berdebu, dia duduk. Junaid mendekatinya.
Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?”
” Syekh Baghdadi yang tidak mengetahui bagaimana cara makan.”
” Anda tidak mengetahui bagaimana makan, tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?”
“Ya”
” Bagaimana anda berbicara ?”
” Saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok masalah. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua orang di dunia untuk kembali ke Allah dan RasulNya. Saya tidak berbicara terlalu banyak sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman pengetahuan spiritual dan yang umum.
kemudian dia menggambarkan apapun yang berhubungan dengan Adab dan etika
Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya pada Syekh dan pergi
Para murid berkata, “O Syekh! Anda lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!”
Syekh berkata, ” Saya ada perlu dengan dia. Kalian tidak tahu.”
Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul sampai Beliau menjumpainya.
Bahlul bertanya, “Apa yang Anda inginkan dari saya? Anda yang tidak mengetahui Adab makan dan bicara, apakah Anda mengetahui bagaimana cara untuk tidur?”
” Ya, saya tahu.”
” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya
” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.”
Kemudian beliau menggambarkan adab-adab tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar agama.
Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.”
Dia ingin berdiri, tapi Junaid menangkap memegang pakaiannya dan berkata, O Bahlul!
Saya tidak mengetahuinya; Demi kecintaan kepada Allah SWT ajari saya.
Bahlul berkata ” Anda mengklaim pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda. sekarang Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari Anda.”
“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah tidak penting.”
”Kebenaran dibalik memakan makanan yang Anda makan menurut hukum adalah sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan yang dilarang juga, dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda, tapi bisa menjadi alasan untuk menghitamkan hati.”
” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang sangat besar.” ucap Syekh.
Bahlul melanjutkan, Hati haruslah bersih, dan memiliki niat yang baik sebelum Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah SWT. Jika itu untuk segala urusan dunia atau pekerjaan yang sia-sia, maka apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.”
“Apapun yang Anda ucapkan tentang tidur juga tidak penting. Kebenarannya adalah bahwa hati Anda seharusnya bebas dari permusuhan, cemburu, dan kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk dunia ini atau kekayaannya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur.
Syekh Junaid kemudian mencium tangan Bahlul dan berdoa untuk nya.
Para murid yang menyaksikan kejadian ini, dan yang telah berfikir bahwa Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai hidup baru.
Imam Abul Qosim Al-Junaid r.a. bercerita :
Sekali peristiwa ketika aku pergi naik haji ke Baitullah Al-Haram, dan juga untuk menziarahi maqam Nabi Saw, sedang aku dalam perjalanan menuju kesana, tiba tiba terdengar oleh telinga ku suatu suara rintihan yang sangat menyayat hati, yang pada anggapan ku tentulah suara itu datangnya dari hati seorang yang remuk redam.
Aku pun mencari cari dari mana datangnya sumber suara itu, dan ternyata bahwa rintihan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sangat kurus, lemah, namun wajahnya bercahaya terang seperti bulan. Saya mendekatinya, ia membuka matanya dan langsung mengucapkan ..Assalamu’alaikum, ya Abul Qosim!!..
Wa’alaikumussalam! Jawab ku penuh keheranan….Nak, siapakah yang memberitahukan nama ku pada mu, sedangkan kita belum pernah mengenal satu sama lain ? Aku bertanya kepadanya.
Wahai Abul Qosim ! Saya telah mengenali bapak sejak dialam Roh. Dan Allah lah yang memberikan nama bapak kepada ku. Demi Allah, wahai Abul Qosim, kalau aku sudah mati, maka mandikan dan bungkuslah aku dengan baju yang aku pakai ini, dan naiklah ke bukit itu, lalu panggillah orang orang untuk menyalati ku, lalu tanamlah aku ditempat ini pula ! Hanya Allah lah yang akan membalas segala kebaikan bapak.
Berkata Abul Qosim Al-Junaid lagi menyambung ceritanya :
Kemudian aku lihat anak muda tadi penuh berkeringat dahinya sehingga membasahi seluruh wajahnya, suaranya semakin menekan, barang kali, kerana kesakitan….Dalam pada itu ia sempat berpesan lagi, katanya:
Wahai Abul Qosim! Setelah anda selesai menunaikan haji mu, dan sudah mau kembali ke negeri mu, hendaklah anda menuju dulu ke Bagdad, dan tanyakan lah orang orang disana tentang kampung Darb Za’faran. Setelah tiba dikampung itu, tanyakan pula tentang ibu ku dan putra ku serta sampaikanlah salam kepada mereka!…. Baiklah, jawab ku.
Anak muda itu kemudian merintih makin lama makin lemah, dan tak lama sesudah itu pulanglah ia ke rahmatullah dengan tenangnya, sedangkan wajahnya tampak semakin bercahaya. Saya pun memandikannya, kemudian mengafankannya dengan bajunya. Sesudah itu saya naik keatas bukit dan berseru dengan suara keras sekali: wahai orang orang sekalian ! marilah kita bersama sama menyalati mayat asing ini!.
Tiba tiba datanglah beribu ribu orang dari segenap penjuru, seperti ulat layaknya, sedang wajah wajah mereka bagaikan terangnya cahaya bulan purnama. Kami pun turut bersama menyalati mayat itu, kemudian menguburkannya. Setelah selesai penguburan mayat itu, maka dengan serta merta pula, hilanglah ribuan orang orang tadi secara mendadak dan tanpa ada bekasnya. Saya benar benar keheranan atas kejadian itu, juga atas kemuliaan mayat yang tidak saya kenal sebelumnya.
Setelah selesai ibadat haji, saya segera pergi ke Bagdad, dan terus menuju ke kampung Darb Za’faran. setelah menemukannya tampak dilorong lorong kecil kampung itu ada anak anak sedang bermain main. Tiba tiba seorang dari antara mereka memandang tajam kepadaku, seraya mendekati ku dan berkata:
Assalamu’alaikum, ya Abul Qosim! Mungkin kedatangan tuan untuk untuk memberitahu tentang kematian ayah ku, agaknya ?
Hati ku terkejut mendengar pertanyaan anak kecil itu. Ah, alangkah tepatnya apa yang dikatakan, padahal ia masih demikian kecil. Ia kemudian menuntun ku ke sebuah rumah, lalu mengetuk pintunya. Seorang wanita tua membuka pintu, dan alangkah terangnya wajah wanita tua itu, dan alangkah salihah ia tampaknya. Saya mengucapkan salam kepadanya . Ia pun segera membalasnya, lalu menangis terisak isak. kemudian ia bertanya: Wahai Abul Qosim !
Dimanakah tempat kematian anak ku, dan cahaya mataku. Moga moga ia mati di Arafah? Jawabku, tidak!…..apakah di Mina?…… jawabku, tidak!…. di Muzdalifah? …. jawabku tidak…..Habis dimana? Tanya ibu itu, Di padang pasir, dibawah pohon ghailan? jawab : Ya,
Mendengar berita itu ia menjerit keras seraya berkata: oh anak ku! Oh anak ku! Suaranya bercampur tangisan yang sungguh menyayat hati semua orang yang disitu. Oh! Anak ku ! Oh anak ku! Mengapa tidak disampaikannya ke rumah Nya (Baitullah), atau dibiarkanNya saja ia dengan kami? Ibu itu terus sesak dadanya, dan ketika itulah ia menghembuskan nyawanya meninggalkan dunia yang fana ini, kembali ke rahmatullah, moga moga Allah mencucuri rahmat atas rohnya.
Berkata Al-Junaid seterusnya :
Melihat neneknya telah meninggal dunia, anak kecil itu pun mendekati mayatnya sambil menangis terisak isak. Kemudian menengadah kearah langit seraya berdoa:
Ya Allah, ya Tuhan ku Mengapa Engkau tidak ambil aku bersama sama nenek ku ! Ya Allah, lebih baik Engkau ambil aku untuk pergi bersama sama mereka berdua!… Dengan tiba tiba saja sesaklah dada anak kecil itu, dan ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, moga moga Allah merahmati mereka sekalian
Saya benar benar tercengang menyaksikan segala peristiwa yang baru berlaku tadi itu, dan saya kira alangkah bahagianya keluarga itu. Saya merawati jenazah itu bersama dengan tetangga mayat itu dangan sempurna dan baik.
Setelah kami menguburkan jenazah jenazah itu, maka dengan hati yang penuh sedih dan iba, saya meninggalkan kubur kubur mereka!.
Syekh Junaid al-Baghdadi adalah peletak dasar bagi mistisisme sadar dalam kontras dengan yang mabuk-Sufi Allah seperti al-Hallaj, Abu yazid Bustami dan Abu sa’id Abu al-khair. Dalam proses persidangan al-Hallaj, mantan murid, Khalifah waktu itu yang diminta fatwa dan ia mengeluarkan ini fatwa : “Dari penampilan luar dia mati dan kita menilai sesuai dengan penampilan luar dan Tuhan yang tahu” lebih baik. Dia disebut oleh para Sufi sebagai Taifa ut-Sayyid yaitu pemimpin kelompok.
Imam Junaid juga seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana setengah peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.
Waktu perniagaannya sering disingkatkan seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak muridnya yang dahaga ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah Imam Junaid akan menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti solat, membaca Al-Qur’an dan berzikir. Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Ramai penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.
Beliau akan membagi-bagikan sebagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.
Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw :
Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Beliau senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata:
“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang senantiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadist-hadist, tidak boleh dijadikan ikutan dalam bidang tasawuf ini.”
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah, Antaranya ialah berpengaruh kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri daripada orang-orang biasa malah semua golongan meminatinya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli fiqih, ahli tasawuf, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik
Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah selalunya menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian daripada beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan popularitas Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang boleh memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidakmengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh sesiapa. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat tahu kematian wanita itu telah memarahi Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan jenayah. Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.
“Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.
Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke Al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, “Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku.”
Al-Junaid berkata, “Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara.”
“Apa yang harus kulakukan?” tanya asy-Syibli.
“Pergilah dan jadilah penjual belerang.”
Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, “Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis.”
Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke Al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:
“Bagi umat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka.” Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan merdeka.
Sekembalinya asy-Syibli, Al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya.
Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk.
Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.
Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat.
Dia berkata:
Bagi pikiranmu, aku gila. Bagi pikiranku, engkau semua bijak. Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku. Dan meningkatkan kebijakanmu ‘Kegilaanku’ dari kekuatan Cinta; Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.
Syekh Junaid mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak bisa melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allah) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allah) masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allah) masih menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan kapanpun aku berada disitu selalu ada Dia (Allah). Demikian jawaban dari santri muda tersebut.
Tasawuf Syekh Junaid al-Baghdadi
Al-Junaid barkata, “Tasawuf adalah bersama dengan Allah tanpa pertalian dengan apapun.” Melalui definisi ini, sebenarnya Al-Junaid ingin menyatakan bahwa sufisme merupakan cara atau sarana menuju Allah dan bersatu dengan kehendak-Nya. Sedangkan pengertian yang demikian ini, dihasilkan dari kesadaran akan adanya suatu jurang yang sangat lebar memisahkan manusia dari Allah. Sehingga sufisme, dimaksudkannya untuk menjembatani jurang tersebut.
Dengan perantaraan sufisme, manusia dapat mendekati-Nya, bahkan dapat bersatu di dalam-Nya. Agar dapat mencapai persatuan tersebut, manusia harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Jika hal ini dapat dilaksanakan, niscaya tujuan untuk mendekati Tuhan dan bersatu di dalam-Nya akan tercapai.
Namun demikian, Al-Junaid juga menyatakan bahwa, “Sufisme adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia.” Dan ketika ditanya apakah sifat itu sifat manusia atau sifat Allah?, Al-Junaid menjawab, “Esensinya memang merupakan sifat Allah, namun gambaran lahiriahnya adalah sifat manusia.” Melalui definisi ini, Al-Junaid ingin menggambarkan bahwa sesungguhnya dalam diri manusia telah dihiasi dengan sifat Allah, sehingga kondisi tertinggi dari pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi berupa persatuannya dengan Allah, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini, seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Bahkan semua yang ada di sekitarnya tidak lagi menjadi obyek pemikirannya, lantaran seluruh perhatiannya hanya tertuju kepada Allah. Sementara dengan hilangnya semua perhatian dan kesadarannya itu, maka dia otomatis sedang berada di tangan Allah.
Lebih jauh Al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang sufi harus tetap meyakini Keesaan Allah dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
1. Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
8. Kerendahan-hati, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.
1. Ajaran Zuhud
Zuhud merupakan dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam ajaran sufisme yang diyakini oleh para sufi. Yang merupakan langkah awal dari mereka yang menekuni tasawuf dalam usahanya untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sehingga siapa saja yang tidak berhasil melalui tahap ini, maka niscaya tidak akan pernah berhasil mencapai hal dan maqam sesudahnya.
Menurut Al-Junaid, “Zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikutinya (ketamakan).” Dengan kata lain, zuhud bagi Al-Junaid lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat dengan duniawi. Namun bukan berarti zuhud itu menjauhi dunia. Bahkan lebih jauh, pengertian zuhud ini melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkan.
Al-Junaid juga bertutur, “Seorang sufi tidak seharusnya berdiam diri di masjid dan berdzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya, orang tersebut menggantungkan dirinya hanya pada pemberian orang lain.” Bagi Al-Junaid, sifat dan sikap seperti itu sengatlah tercela, lantaran sekalipun sufi, orang tersebut harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Jika sudah mendapat nafkah diharapkan mau menggunakannya di jalan Allah, yaitu dengan mendermakan sebagian hartanya kepada siapa saja yang membutuhkan.
2. Ajaran Tawakal
Menurut Al-Junaid, “Hakikat tawakal adalah menjadi milik Tuhan seperti sebelum terjadi.” Pengertian ini berarti bahwa seorang yang bertawakal menjadi seperti ketika belum diciptakan, yaitu sebagai milik Tuhan. Dan lantaran dia kepunyaan-Nya, maka apapun yang akan diperbuat Allah terhadapnya, dia akan menerimanya. Junaid juga bertutur, “Bahwasannya kamu harus puas dengan Allah dalam segala keadaan, dan kamu tidak mengharapkan sesuatu yang lain kecuali Allah.”
3. Ajaran Mahabbah
Junaid bertutur tentang mahabbah, “Mahabbah adalah masuknya sifat-sifat yang Dicintai ke dalam diri yang mencintai, sebagai ganti dari sifat-sifat yang mencintai.” Maksudnya adalah jika seorang sufi telah benar-benar jatuh cinta kepada Allah, maka perhatiannya hanya akan tertuju pada-Nya. Tiada lagi perasaan yang tertuju kepada hal-hal lain yang masih tertinggal pada dirinya. Pada saat yang sama, dia akan menjadikan tempat di segala sudut dalam hatinya, hanya untuk Allah.
Namun demikian, semua ini hanya akan terjadi apabila diawali dengan menghilangkan sifat-sifat yang ada pada dirinya sebagai makhluk, dengan meyakini esensi Tuhan yang kekal. Lantaran ketika sifat-sifat kemanusiaannya hilang, pada saat itulah dia akan terhiasi oleh sifat-sifat Allah yang dicintai-Nya. Jika sufi tersebut masih merasakan sifat-sifat kemakhlukan pada dirinya, niscaya dia tidak akan dapat menghayati keindahan Allah yang dicintainya. Tetapi jika dia tahu bahwa keindahan Allah hanya dapat dicapai dengan usaha yang tekun dan pertolongan-Nya, maka ia pasti akan berusaha untuk meraihnya, sekalipun untuk itu, dia harus menghilangkan sifat-sifat dirinya. Sehingga dengan demikian, mahabbah yang sejati pada Tuhan akan terwujud.
4. Ajaran Mushahadah
Mushahadah berarti menyaksikan atau lebih jelasnya, “Melihat Allah dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala.” Hal ini berarti bahwa dalam ajaran sufisme, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Allah itu dapat dilihat. Menurut Al-Junaid, Allah hanya dapat dilihat melalui mata hati, bukan dengan mata kepala. Sehingga seandainya Allah dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti, maka Al-Junaid pun tidak ingin melakukannya.
Al-Junaid bertutur, “Apabila Allah berkata kepadaku: Lihatlah Aku, aku akan menjawab: Aku tidak dapat melihat Engkau ya Allah. Lantaran dalam cinta, mata adalah sesuatu yang lain selain Tuhan dan makhluk. Kecemburuan pada yang lain akan menjagaku dari melihat-Nya. Selain itu, ketika di dunia aku telah biasa melihat-Nya tanpa perantaraan mata kepala, maka bagaimana aku harus menggunakan perantaraan seperti itu di akhirat nanti.”
5. Ajaran Mithaq
Menurut Al-Junaid, yang dimaksud dengan mithaq adalah perjanjian yang terjadi antara Allah dengan ruh, sebelum dia masuk ke dalam tubuh manusia. Dimana akad ini terjadi ketika ruh tersebut diciptakan-Nya pada masa azali.
6. Ajaran Tentang Fana dan Baqa
Kontribusi Junaid terhadap tasawuf banyak, ide dasar berurusan dengan kemajuan yang menyebabkan orang untuk “memurnahkan” diri (fana) sehingga berada dalam serikat lebih dekat dengan Ilahi. Orang perlu “melepaskan keinginan alam, untuk menghapus atribut manusia, untuk membuang motif egois, untuk menumbuhkan kualitas spiritual, untuk mengabdikan diri kepada pengetahuan yang benar, untuk melakukan apa yang terbaik dalam konteks keabadian, keinginan baik untuk seluruh masyarakat, harus benar-benar beriman kepada Allah, dan mengikuti Nabi dalam hal syariat “. Ini dimulai dengan praktek penolakan (zuhud) dan berlanjut dengan penarikan dari masyarakat, konsentrasi intensif pada pengabdian (Ibadat) & mengingati (zikir) Allah, ketulusan (Ikhlas), dan kontemplasi (muraqaba) masing-masing; kontemplasi menghasilkan fana. Jenis “perjuangan semantik” recreates pengalaman persidangan (bala) yang penting dalam tulisan-tulisan Junaid. Hal ini memungkinkan orang untuk masuk ke dalam keadaan fana. Junaid membagi atas keadaan fana menjadi tiga bagian: “
1) yang meninggal dari atribut seseorang melalui upaya terus-menerus menentang ego-diri sendiri (nafs);
2) berlalu dari perasaan seseorang tentang prestasi, yaitu berlalu dari “kita berbagi salah satu padang pasir manis dan kenikmatan ketaatan‘; dan
3) lewat jauh dari visi tentang realitas” dari ekstansi Anda sebagai tanda nyata mengalahkan Anda’ “.
Semua tahapan ini membantu seseorang untuk mencapai fana. Ini adalah melalui tahap baqa yang satu dapat menemukan Tuhan – atau lebih tepatnya, memiliki Allah menemukan dirinya. Menjangkau baqa bukanlah hal yang mudah dilakukan meskipun; mendapatkan melalui tiga tahap membutuhkan disiplin yang ketat dan kesabaran. Bahkan ada perdebatan antara ulama, apakah tahap ketiga dimungkinkan untuk dicapai. Junaid membantu mendirikan “sadar” sekolah pemikiran sufi, yang berarti bahwa dia sangat logis dan ilmiah tentang definisi tentang berbagai kebajikan, Tauhid, dll.
Tasawuf dicirikan oleh orang-orang yang Pengalaman fana dan tidak hidup dalam keadaan penyerapan tanpa pamrih pada Tuhan tetapi menemukan diri mereka kembali ke indera mereka oleh Allah. Kembali tersebut dari pengalaman demikian dilarutkan mementingkan diri sebagai diri baru. Sebagai contoh, Junaid mengatakan, “Air mengambil warna dari cawan itu.” Meskipun ini mungkin tampak agak membingungkan pada awalnya, ‘Abd al-Hakeem Carney menjelaskan lebih baik: kita dituntun menuju konsep penting dari ‘kapasitas,’ dimana penampakan Ilahi diterima oleh hati setiap orang menurut orang itu tertentu menerima kapasitas dan akan ‘berwarna’ oleh alam seseorang “. Seperti yang dapat dilihat, seperti ungkapan yang sederhana memiliki arti yang mendalam seperti; ia membawa pembaca kembali ke pemahaman yang lebih dalam Tuhan melalui metafora yang lebih bijaksana.
Fana dan baqa ini merupakan sesuatu yang kembar dan datang bersamaan, sehingga jika seseorang mengalami fana (kesadaran diri hilang dan lenyap), maka bersamaan dengan itu muncul baqa (munculnya kesadaran akan kehadirannya di sisi Allah). Diri pribadi dengan segala sifatnya yang menyukai kesenangan dan keinginan duniawi, merupakan tabir penghalang bagi seorang sufi untuk mencapai persatuan dengan Allah. Sehingga semua penghambat tersebut, harus terlebih dahulu dihapuskan agar dapat mencapai puncak tertinggi dari sufisme. Atau dengan kata lain, untuk mencapai persatuan dalam Allah, maka semua sifat kemakhlukan yang ada pada diri manusia dan semua perasaan terhadap selain Allah, harus dihilangkan terlebih dahulu. Sehingga ketika hati benar-benar telah bersih dan siap ditempati Allah, maka inilah yang dimaksud dengan fana, yakni hilangnya kesadaran atas diri pribadi.
7. Ajaran Tauhid
Menurut Al-Junaid, tauhid adalah, “Pengesaan yang qidam (kekal) dari yang hadath (baru atau diciptakan).” Dengan pengertian ini, Al-Junaid ingin menegaskan bahwa tauhid merupakan pengesaan Allah yang kekal (qidam) dari makhluk ciptaan-Nya yang baru (hadith). Pengesaan ini berarti pemisahan Allah dari segala makhluk-Nya, termasuk di dalamnya pemisahan dari manusia.
8. Ajaran Makrifat
Menurut Al-Junaid, marifat adalah kesadaran akan adanya ketidaktahuan (kebodohan) ketika pengetahuan tentang Allah datang. Melalui definisi ini, dia ingin menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu berada pada ketidaktahuan tentang hakikat Allah. Dimana keadaan yang demikian ini, baru disadarinya ketika datang makrifat kepadanya. Pada saat itu, dia akan mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkenaan dengan Allah yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya.
Makrifat atau pengetahuan tentang Allah, akan dapat dicapai oleh seorang sufi, dalam keadaan fana tertinggi. Dimana pada saat itu, segala sifat kemanusiaan yang ada dalam dirinya hilang seketika. Semua keinginannya pada benda-benda duniawi terhapus. Kesadaran akan dirinya lenyap, digantikan oleh kesadaran akan kedekatannya pada Tuhan. Sedangkan yang masih tinggal pada dirinya hanyalah perasaan akan bersatunya ruh dirinya dalam Allah. Dan pada titik itulah sesungguhnya makrifat ini muncul menguasai dirinya. Di mana Allah dengan segala rahmat-Nya telah berkenan menganugerahkan makrifat itu kepadanya.
Makrifat menurut Al-Junaid merupakan milik Allah, yang hanya didapatkan melalui Dia dan akan ada bersama dengan-Nya sendiri.
9. Sahw (Kembali Pada Kesadaran)
Dalam sufisme, istilah sahw adalah kembalinya seorang arif (sufi) pada kesadarannya, setelah sebelumnya mengalami ghaybah (fana) dan kehilangan kesadarannya. Al-Junaid menjelaskan masalah sahw ini sebagai berikut, “Allah mengembalikan sufi kepada keadaannya semula, adalah agar dia dapat menjelaskan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga cahaya anugerah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-sifatnya sebagai manusia. Dengan demikian hal ini menjadikan masyarakat menghargai dan tertarik kepadanya.”
Sahw ini merupakan tahap terakhir setelah seorang sufi mengalami fana dan baqa. Pada kondisi inilah ujian sebenarnya bahwa seorang sufi harus mampu kembali kepada kesadarannya dengan hati yang telah disucikan oleh Allah. Para sufi ini harus mampu menyucikan hatinya secara terus-menerus dalam kesadaran manusia sehingga dia benar-benar menjadi yang mencintai dan dicintai Allah.
Junaid percaya bahwa Sufisme adalah jalan bagi elit untuk mencapai Allah, bukan orang biasa. “Tasawuf,” katanya, “adalah untuk membersihkan jantung dari setiap keinginan mengikuti jalan orang-orang umum”.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar Al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan, Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Sejak kecil, Al-Junaid terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan Al-Junaid al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junaid al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, Al-Junaid memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husain ibn Mansur Al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Dalam masa-masa hidupnya, Al-Junaid menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Al-Junaid melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Allah.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syekh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Al-Junaid, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”. Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Al-Junaid .
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Allah mensucikan “hati” seseorang menurut kadar khusyuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Allah. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast.
Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (Allah), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali tasawuf Al-Junaid berlandaskan Al-Qur’an dan hadits. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid tentang tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidi pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3. Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa Al-Junaid pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu:
(a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh;
(b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi;
(c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka Al-Junaid seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.”
Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami syariat tanpa hakikat ia fasik, barang siapa yang mendalami hakikat tanpa mendalami syariat ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Junaid Al-Baghdadi: Simbol Keharmonisan Tasawuf dan Syariat
Rubrik Hujjatul Tak hanya tasawuf, ia juga menguasai sejumlah bidang ilmu pengetahuan.Ajaran Islam tak hanya berbicara masalah fikih, ibadah, dan akhlak. Di dalamnya, juga dibahas tentang masalah tasawuf, yakni pendekatan diri kepada Allah melalui pemahaman yang lebih mendalam dengan hati. Istilah tasawuf ini sebenarnya sudah berkembang sejak masa Rasulullah SAW di Madinah. Dulu di Masjid Nabawi terdapat sekelompok orang yang disebut dengan ahlus suffah . Karena itu, ada yang menyebutkan bahwa tasawuf memiliki akar kata dari suffah . Namun menurut lainnya, tasawuf berasal dari kata shafa atau shufi yang berarti suci atau bersih. Dalam perkembangannya, praktik-praktik tasawuf baru meledak pada abad ketiga Hijriyah.
Menurut Dr Abu Al Wafa At Taftazani dalam bukunya Madkhal Ila At Tasawwuf al Islami, abad ketiga Hijriyah merupakan titik tolak dan sejarah penting bagi perkembangan tasawuf Islam. Al-Qusyairi dan Ibnu Khaldun menjelaskan, kata tasawuf sudah pernah digunakan sebelum abad kedua Hijriyah, tetapi pada abad ketigalah istilah tasawuf mulai dipergunakan secara luas. Pendapat Abu Al Wafa cukup berasalan. Sebab saat itulah tasawuf yang semula sebatas dipahami sebagai implementasi terhadap makna zuhud, mulai bergeser menjadi sebuah paradigma, gerakan, dan olah rasa di kalangan para pegiatnya. Meski masih ditafsirkan secara sederhana, pada periode ketiga Hijriyah muncul teori-teori sufi, seperti hulul, fana, dan tauhid. Selain itu, sejumlah tarekat sufi juga mulai menjamur. Ada Tarekat Al-Qashariyah, At-Thaifuriyyah, Al-Kharraziyah, An-Nuriiyah, dan Al-Hallajiyyah. Salah satu tokoh yang mempunyai andil besar dalam proses transformasi tasawuf pada abad ketiga adalah Imam Junaid.
Benturan pandangan para pengikut tasawwuf dan ahli fikih pada abad ketiga ini merisaukan Al Junaid. Mengapa harus dipertentangkan. Bukankah ajaran tasawwuf itu bersumber dari ajaran nabi. Begitu pula dengan fikih. Maka hendaknya kedua cara pandang yang cenderung hakikat-centris dan yang cenderung legalit-centris, dikompromikan. Dalam hal ini, Al Junaid mengatakan,
علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“ilmu (tasawwuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barang siapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini”
Frase Ilmunya merujuk pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui perjalanan spiritual. Pengetahuan yang kadang sulit dijelaskan oleh nalar manusiawi. Sehingga kadangkala dampak dari ilmu tersebut terbilang aneh bagi orang biasa. Semua merujuk pada tingkat ekstasie tertentu pada diri sufi yang tidak dapat dijelaskan secara nalar. Namun hal itu memang benar mereka rasakan. Mereka seperti masuk pada ruang tanpa batas. Pengetahuan tentang yang supra-gaib. Sehingga muncul sikap radikal dan liberal dalam pemikiran tasawwuf. Radikalisme dan liberalisme tasawwuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul. Keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran pemikiran semacam ini dalam pandangan Al Junaid, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawwuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawwuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah).
Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari sini, gagasan Al Junaid kemudian sangat kompatibel dengan pemikiran ahli fikih dan hadis. Dan inilah makna ucapan “dilandasi Al Kitab dan As Sunnah”.
Imam Junaid atau yang mempunyai julukan Abul Qosim ini adalah orang pertama yang menyusun dan membahasakan tasawuf, hingga tak jarang kitab-kitab tasawuf yang merujuk kepada ijtihad Imam Junaid. Dan beliau pulalah yang merangkum pertama kali kata-kata bijak Imam Abu Yazid al-Busthomi yang tidak lain adalah guru beliau sendiri.
Al-Junaid di kenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Qusyairi: Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang pengertian tauhid. Dia menjawab: “Orang-orang yang mengesakan Allah (al-muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakan, menafikan segala bentuk politeistik. Dia tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia tanpa padanan dan Dia adalah zat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Pengertian tauhid yang diberikan al-Junaid di atas tidak keluar dari pengertian yang diberikan oleh para teolog, sekalipun dia menguraikannya dari sudut pandang para sufi. Menurutnya, akal-budi tidak mampu memahami itu. Sebab, “seandainya pemikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran itu akan berakhir dengan kebingungan.” Dan katanya pula: “Ungkapan terbaik tentang tauhid adalah ucapan Abu Bakr al-Siddiq: Maha Suci Zat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya.”
Pengertian tauhid, sebagaimana diberikan al-Junaid, bahwa ia mengandung unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan fana’. Dengan menjadikan perjanjian azali sebagai titik tolak, seraya merujuk kepada al-Qur’an (QS. Al-‘An’am:164-168) menurut tafsiran sufi, ia memandang seluruh rangkaian sejarah ini sebagai upaya manusia dalam memenuhi perjanjian itu dan kembali ke ihwal asalnya. Dalam sebuah tafsir tentang percakapan yang konon berlangsung antara manusia dan Tuhan dahulu kala, al-Junaid menulis: “Dalam ayat ini Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada zaman tatkala mereka (anak-cucu Adam) belum maujud, tapi sudah maujud dalam diri-Nya. Kemaujudan ini bukanlah kemaujudan yang lazim dari ciptaan-ciptaan-Nya. Namun kemaujudan ini merupakan suatu kemaujudan yang hanya diketahui oleh Allah.
Tauhid yang hakiki menurut al-Junaid adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan yang qidam dari yang hudus. Ketika menjelaskan sebuah hadis: “Manakala Aku mencintainya, maka aku menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang menuntunnya dan mengaruniakan kepadanya hakikat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.
Tauhid yang begini, menurut al-Junaid, adalah tauhid bagi kelompok tertentu. Misalnya al-Tusi dalam kitabnya Al-Luma’, menuturkan: “Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid bagi kelompok tertentu (kaum khawas), jawabnya: Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah SWT.
Al-Junaid memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diuraikan dengan akal dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman dihadapan orang-orang awam (terutama sekali terhadap orang-orang yang memandang kegiatan para sufi dengan kecurigaan). Berdasarkan alasan inilah ia menolak al-Hallaj yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia cinta dan penyatuan. Oleh karenanya, al-Junaid memperhalus seni bicara melalui isyarat suatu kecenderungan yang mula-mula diprakarsai oleh al-Kharraz. Surat-surat dan risalah-risalahnya ditulis dengan gaya samar-samar; bahasanya begitu padat sehingga sangat sulit dipahami oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khas pengungkapan sufistik. Bahasa yang indah itu lebih menutupi daripada membukakan makna sebenarnya
Tasawuf dalam Pandangan Al Junaid
Dasar-dasar Tasawuf
“Kitab ini yaitu Al-Qur’an adalah kitab paling mulia dan paling lengkap. Syariah kita adalah aturan hidup yang paling jelas dan paling rinci. Tareqat kita, yakni jalan ahli tasawuf, dikuatkan dengan kitab dan sunnah.Maka barang siapa belum mendalami al-Qur’an, memelihara Sunnah danmemahami makna-maknanya tidak boleh di ikuti.” Ia juga berkata kepada sahabat-sabahatnya : “Seandainya kamu melihat seseorang terbang di udara maka janganlah kamu meyakininya hingga melihat perbuatannya berkaitan dengan perintah dan larangan Allah. Jika kamu melihat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka kamu boleh mempercayai dan mengikutinya. Tetapi jika kamu melihat ia melanggar perintah dan larangan itu maka jauhilah dia.”
Lingkungan Agung Para Sufi
“Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.” Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, “Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al-Junaid. Lihatlah, apakah Anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majlis al-Junaid.
Ia bertanya kepada al-Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al-Junaid, “Tolong Anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al-Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah Anda ulangi sekali lagi!” Lantas al-Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang Anda ucapkan. Tolonglah Anda uraikan untuk kami!” Al-Junaid menjawab, “Kalau Anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya.” Lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al-Junaid serta keunggulan moralnya.
“Apabila prinsip-prinsip kaum Sufi merupakan prinsip paling sahih, dan para syekhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli penempuh dan penahap tujuan mereka, maka para syekh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya kegaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak bersaing untuk mahir dalam hujjah, lalu ingin mencapai peringkat bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama salafnya. Dan hendaknya bersama jalan generasi Sufi ini, sebab, mereka lebih utama dari yang lain.”
Tasawuf, Ilmu Paling Mulia
Al-Junaid berkata, “Jika Anda mengetahui bahwa Allah swt. memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu tasawuf, dimana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.” Makna Hakikat Terdalam “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya.” Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. tanpa keterikatan apa pun.” “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Dia berkata pula, “Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, “Tasawuf adalah dzikir bersama, penyampain yang disertai bimbingan, dan tindakan yang didasari Sunnah.”
Metafor Kaum Sufi
“Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik.” Dia juga mengatakan, “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang di injak orang saleh maupun munafiq; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Dia melanjutkan, “jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Meninggal Dunia
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi Abu Bakar As-Syibli, seorang daripada muridnya.
Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.” Baca juga Kitab-mukaasyafatul-qulub-imam
Awal pendidikan Al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari Al-Saqati, yang juga dikenal sebagai seorang sufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Ketika usianya 20 tahun, Al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqh pada Abu Thawr, sorang faqih kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqh, Al-Junaid beralih menekuni tasawuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tasawuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari Al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan sufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu Al-Junaid dalam sufisme telah cukup matang.
Al-Junaid adalah seorang sufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Kedudukannya di antara para sufi sangatlah terhormat, bahkan Sari Al-Saqati sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya pada Sari Al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tasawuf?” Sari Al-Saqati menjawab, “Tentu saja dapat, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tasawuf Al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.” Syekh Junaid Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya. Syekh bertanya bagaimana kabar bahlul yang gila ?
Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari dia?”
Para murid mencari Bahlul dan menemukannya di padang pasir. Mereka membawa Syekh Junaid kepadanya, ketika Syekh Junaid pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu bata ada dibawah kepalanya (posisi kepala dibawah) Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qosim?” Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Syekh Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ”
“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah Anda bagaimana cara makan?”
“Ya!” Saya mengucapkan Bismillah (Dengan mengucap nama Allah SWT). Saya makan yang paling dekat dengan saya, Saya mengambil gigitan kecil, meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan mengunyah pelan-pelan. Saya tidak nampak ke gigitan yang lain. Saya mengingat Allah SWT saat makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya pada Syekh, dan berkata,
”Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia tapi Anda tidak mengetahui bagaimana cara makan.” setelah mengucapkannya, dia langsung pergi.
Para Murid Syekh berkata, “O Syekh! Dia orang yang gila.”
Syekh menjawab, Dia adalah orang gila yang sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya.
Setelah mengucapkan Beliau pergi dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.”
Ketika Bahlul mencapai bangunan yang berdebu, dia duduk. Junaid mendekatinya.
Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?”
” Syekh Baghdadi yang tidak mengetahui bagaimana cara makan.”
” Anda tidak mengetahui bagaimana makan, tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?”
“Ya”
” Bagaimana anda berbicara ?”
” Saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok masalah. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua orang di dunia untuk kembali ke Allah dan RasulNya. Saya tidak berbicara terlalu banyak sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman pengetahuan spiritual dan yang umum.
kemudian dia menggambarkan apapun yang berhubungan dengan Adab dan etika
Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.”
Bahlul berdiri, menggerakkan pakaiannya pada Syekh dan pergi
Para murid berkata, “O Syekh! Anda lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!”
Syekh berkata, ” Saya ada perlu dengan dia. Kalian tidak tahu.”
Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul sampai Beliau menjumpainya.
Bahlul bertanya, “Apa yang Anda inginkan dari saya? Anda yang tidak mengetahui Adab makan dan bicara, apakah Anda mengetahui bagaimana cara untuk tidur?”
” Ya, saya tahu.”
” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya
” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.”
Kemudian beliau menggambarkan adab-adab tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar agama.
Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.”
Dia ingin berdiri, tapi Junaid menangkap memegang pakaiannya dan berkata, O Bahlul!
Saya tidak mengetahuinya; Demi kecintaan kepada Allah SWT ajari saya.
Bahlul berkata ” Anda mengklaim pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda. sekarang Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari Anda.”
“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah tidak penting.”
”Kebenaran dibalik memakan makanan yang Anda makan menurut hukum adalah sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan yang dilarang juga, dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda, tapi bisa menjadi alasan untuk menghitamkan hati.”
” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang sangat besar.” ucap Syekh.
Bahlul melanjutkan, Hati haruslah bersih, dan memiliki niat yang baik sebelum Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah SWT. Jika itu untuk segala urusan dunia atau pekerjaan yang sia-sia, maka apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.”
“Apapun yang Anda ucapkan tentang tidur juga tidak penting. Kebenarannya adalah bahwa hati Anda seharusnya bebas dari permusuhan, cemburu, dan kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk dunia ini atau kekayaannya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur.
Syekh Junaid kemudian mencium tangan Bahlul dan berdoa untuk nya.
Para murid yang menyaksikan kejadian ini, dan yang telah berfikir bahwa Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai hidup baru.
Imam Abul Qosim Al-Junaid r.a. bercerita :
Sekali peristiwa ketika aku pergi naik haji ke Baitullah Al-Haram, dan juga untuk menziarahi maqam Nabi Saw, sedang aku dalam perjalanan menuju kesana, tiba tiba terdengar oleh telinga ku suatu suara rintihan yang sangat menyayat hati, yang pada anggapan ku tentulah suara itu datangnya dari hati seorang yang remuk redam.
Aku pun mencari cari dari mana datangnya sumber suara itu, dan ternyata bahwa rintihan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sangat kurus, lemah, namun wajahnya bercahaya terang seperti bulan. Saya mendekatinya, ia membuka matanya dan langsung mengucapkan ..Assalamu’alaikum, ya Abul Qosim!!..
Wa’alaikumussalam! Jawab ku penuh keheranan….Nak, siapakah yang memberitahukan nama ku pada mu, sedangkan kita belum pernah mengenal satu sama lain ? Aku bertanya kepadanya.
Wahai Abul Qosim ! Saya telah mengenali bapak sejak dialam Roh. Dan Allah lah yang memberikan nama bapak kepada ku. Demi Allah, wahai Abul Qosim, kalau aku sudah mati, maka mandikan dan bungkuslah aku dengan baju yang aku pakai ini, dan naiklah ke bukit itu, lalu panggillah orang orang untuk menyalati ku, lalu tanamlah aku ditempat ini pula ! Hanya Allah lah yang akan membalas segala kebaikan bapak.
Berkata Abul Qosim Al-Junaid lagi menyambung ceritanya :
Kemudian aku lihat anak muda tadi penuh berkeringat dahinya sehingga membasahi seluruh wajahnya, suaranya semakin menekan, barang kali, kerana kesakitan….Dalam pada itu ia sempat berpesan lagi, katanya:
Wahai Abul Qosim! Setelah anda selesai menunaikan haji mu, dan sudah mau kembali ke negeri mu, hendaklah anda menuju dulu ke Bagdad, dan tanyakan lah orang orang disana tentang kampung Darb Za’faran. Setelah tiba dikampung itu, tanyakan pula tentang ibu ku dan putra ku serta sampaikanlah salam kepada mereka!…. Baiklah, jawab ku.
Anak muda itu kemudian merintih makin lama makin lemah, dan tak lama sesudah itu pulanglah ia ke rahmatullah dengan tenangnya, sedangkan wajahnya tampak semakin bercahaya. Saya pun memandikannya, kemudian mengafankannya dengan bajunya. Sesudah itu saya naik keatas bukit dan berseru dengan suara keras sekali: wahai orang orang sekalian ! marilah kita bersama sama menyalati mayat asing ini!.
Tiba tiba datanglah beribu ribu orang dari segenap penjuru, seperti ulat layaknya, sedang wajah wajah mereka bagaikan terangnya cahaya bulan purnama. Kami pun turut bersama menyalati mayat itu, kemudian menguburkannya. Setelah selesai penguburan mayat itu, maka dengan serta merta pula, hilanglah ribuan orang orang tadi secara mendadak dan tanpa ada bekasnya. Saya benar benar keheranan atas kejadian itu, juga atas kemuliaan mayat yang tidak saya kenal sebelumnya.
Setelah selesai ibadat haji, saya segera pergi ke Bagdad, dan terus menuju ke kampung Darb Za’faran. setelah menemukannya tampak dilorong lorong kecil kampung itu ada anak anak sedang bermain main. Tiba tiba seorang dari antara mereka memandang tajam kepadaku, seraya mendekati ku dan berkata:
Assalamu’alaikum, ya Abul Qosim! Mungkin kedatangan tuan untuk untuk memberitahu tentang kematian ayah ku, agaknya ?
Hati ku terkejut mendengar pertanyaan anak kecil itu. Ah, alangkah tepatnya apa yang dikatakan, padahal ia masih demikian kecil. Ia kemudian menuntun ku ke sebuah rumah, lalu mengetuk pintunya. Seorang wanita tua membuka pintu, dan alangkah terangnya wajah wanita tua itu, dan alangkah salihah ia tampaknya. Saya mengucapkan salam kepadanya . Ia pun segera membalasnya, lalu menangis terisak isak. kemudian ia bertanya: Wahai Abul Qosim !
Dimanakah tempat kematian anak ku, dan cahaya mataku. Moga moga ia mati di Arafah? Jawabku, tidak!…..apakah di Mina?…… jawabku, tidak!…. di Muzdalifah? …. jawabku tidak…..Habis dimana? Tanya ibu itu, Di padang pasir, dibawah pohon ghailan? jawab : Ya,
Mendengar berita itu ia menjerit keras seraya berkata: oh anak ku! Oh anak ku! Suaranya bercampur tangisan yang sungguh menyayat hati semua orang yang disitu. Oh! Anak ku ! Oh anak ku! Mengapa tidak disampaikannya ke rumah Nya (Baitullah), atau dibiarkanNya saja ia dengan kami? Ibu itu terus sesak dadanya, dan ketika itulah ia menghembuskan nyawanya meninggalkan dunia yang fana ini, kembali ke rahmatullah, moga moga Allah mencucuri rahmat atas rohnya.
Berkata Al-Junaid seterusnya :
Melihat neneknya telah meninggal dunia, anak kecil itu pun mendekati mayatnya sambil menangis terisak isak. Kemudian menengadah kearah langit seraya berdoa:
Ya Allah, ya Tuhan ku Mengapa Engkau tidak ambil aku bersama sama nenek ku ! Ya Allah, lebih baik Engkau ambil aku untuk pergi bersama sama mereka berdua!… Dengan tiba tiba saja sesaklah dada anak kecil itu, dan ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, moga moga Allah merahmati mereka sekalian
Saya benar benar tercengang menyaksikan segala peristiwa yang baru berlaku tadi itu, dan saya kira alangkah bahagianya keluarga itu. Saya merawati jenazah itu bersama dengan tetangga mayat itu dangan sempurna dan baik.
Setelah kami menguburkan jenazah jenazah itu, maka dengan hati yang penuh sedih dan iba, saya meninggalkan kubur kubur mereka!.
Syekh Junaid al-Baghdadi adalah peletak dasar bagi mistisisme sadar dalam kontras dengan yang mabuk-Sufi Allah seperti al-Hallaj, Abu yazid Bustami dan Abu sa’id Abu al-khair. Dalam proses persidangan al-Hallaj, mantan murid, Khalifah waktu itu yang diminta fatwa dan ia mengeluarkan ini fatwa : “Dari penampilan luar dia mati dan kita menilai sesuai dengan penampilan luar dan Tuhan yang tahu” lebih baik. Dia disebut oleh para Sufi sebagai Taifa ut-Sayyid yaitu pemimpin kelompok.
Imam Junaid juga seorang ahli perniagaan yang berjaya. Beliau memiliki sebuah gedung perniagaan di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan menguruskan perniagaannya sebagaimana setengah peniaga lain yang kaya raya di Baghdad.
Waktu perniagaannya sering disingkatkan seketika kerana lebih mengutamakan pengajian anak-anak muridnya yang dahaga ilmu pengetahuan. Apa yang mengkagumkan ialah Imam Junaid akan menutup kedainya setelah selesai mengajar murid-muridnya. Kemudian beliau balik ke rumah untuk beribadat seperti solat, membaca Al-Qur’an dan berzikir. Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Ramai penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga.
Beliau akan membagi-bagikan sebagian dari keuntungan perniagaannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.
Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw :
Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Beliau senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata:
“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang senantiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadist-hadist, tidak boleh dijadikan ikutan dalam bidang tasawuf ini.”
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah, Antaranya ialah berpengaruh kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri daripada orang-orang biasa malah semua golongan meminatinya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli fiqih, ahli tasawuf, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik
Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah selalunya menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian daripada beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan popularitas Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang boleh memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidakmengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh sesiapa. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat tahu kematian wanita itu telah memarahi Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan jenayah. Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.
“Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.
Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke Al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, “Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku.”
Al-Junaid berkata, “Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara.”
“Apa yang harus kulakukan?” tanya asy-Syibli.
“Pergilah dan jadilah penjual belerang.”
Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, “Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis.”
Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke Al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:
“Bagi umat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka.” Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan merdeka.
Sekembalinya asy-Syibli, Al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya.
Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk.
Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.
Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat.
Dia berkata:
Bagi pikiranmu, aku gila. Bagi pikiranku, engkau semua bijak. Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku. Dan meningkatkan kebijakanmu ‘Kegilaanku’ dari kekuatan Cinta; Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.
Syekh Junaid mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak bisa melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allah) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allah) masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allah) masih menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan kapanpun aku berada disitu selalu ada Dia (Allah). Demikian jawaban dari santri muda tersebut.
Tasawuf Syekh Junaid al-Baghdadi
Al-Junaid barkata, “Tasawuf adalah bersama dengan Allah tanpa pertalian dengan apapun.” Melalui definisi ini, sebenarnya Al-Junaid ingin menyatakan bahwa sufisme merupakan cara atau sarana menuju Allah dan bersatu dengan kehendak-Nya. Sedangkan pengertian yang demikian ini, dihasilkan dari kesadaran akan adanya suatu jurang yang sangat lebar memisahkan manusia dari Allah. Sehingga sufisme, dimaksudkannya untuk menjembatani jurang tersebut.
Dengan perantaraan sufisme, manusia dapat mendekati-Nya, bahkan dapat bersatu di dalam-Nya. Agar dapat mencapai persatuan tersebut, manusia harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Jika hal ini dapat dilaksanakan, niscaya tujuan untuk mendekati Tuhan dan bersatu di dalam-Nya akan tercapai.
Namun demikian, Al-Junaid juga menyatakan bahwa, “Sufisme adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia.” Dan ketika ditanya apakah sifat itu sifat manusia atau sifat Allah?, Al-Junaid menjawab, “Esensinya memang merupakan sifat Allah, namun gambaran lahiriahnya adalah sifat manusia.” Melalui definisi ini, Al-Junaid ingin menggambarkan bahwa sesungguhnya dalam diri manusia telah dihiasi dengan sifat Allah, sehingga kondisi tertinggi dari pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi berupa persatuannya dengan Allah, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini, seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Bahkan semua yang ada di sekitarnya tidak lagi menjadi obyek pemikirannya, lantaran seluruh perhatiannya hanya tertuju kepada Allah. Sementara dengan hilangnya semua perhatian dan kesadarannya itu, maka dia otomatis sedang berada di tangan Allah.
Lebih jauh Al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang sufi harus tetap meyakini Keesaan Allah dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki:
1. Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.;
2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.;
3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub a.s.;
4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.;
5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.;
6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.;
7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.;
8. Kerendahan-hati, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.
1. Ajaran Zuhud
Zuhud merupakan dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam ajaran sufisme yang diyakini oleh para sufi. Yang merupakan langkah awal dari mereka yang menekuni tasawuf dalam usahanya untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sehingga siapa saja yang tidak berhasil melalui tahap ini, maka niscaya tidak akan pernah berhasil mencapai hal dan maqam sesudahnya.
Menurut Al-Junaid, “Zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikutinya (ketamakan).” Dengan kata lain, zuhud bagi Al-Junaid lebih merupakan sikap seorang sufi yang tidak begitu terikat dengan duniawi. Namun bukan berarti zuhud itu menjauhi dunia. Bahkan lebih jauh, pengertian zuhud ini melahirkan sikap kedermawanan dan suka bersedekah pada orang yang membutuhkan.
Al-Junaid juga bertutur, “Seorang sufi tidak seharusnya berdiam diri di masjid dan berdzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya, orang tersebut menggantungkan dirinya hanya pada pemberian orang lain.” Bagi Al-Junaid, sifat dan sikap seperti itu sengatlah tercela, lantaran sekalipun sufi, orang tersebut harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Jika sudah mendapat nafkah diharapkan mau menggunakannya di jalan Allah, yaitu dengan mendermakan sebagian hartanya kepada siapa saja yang membutuhkan.
2. Ajaran Tawakal
Menurut Al-Junaid, “Hakikat tawakal adalah menjadi milik Tuhan seperti sebelum terjadi.” Pengertian ini berarti bahwa seorang yang bertawakal menjadi seperti ketika belum diciptakan, yaitu sebagai milik Tuhan. Dan lantaran dia kepunyaan-Nya, maka apapun yang akan diperbuat Allah terhadapnya, dia akan menerimanya. Junaid juga bertutur, “Bahwasannya kamu harus puas dengan Allah dalam segala keadaan, dan kamu tidak mengharapkan sesuatu yang lain kecuali Allah.”
3. Ajaran Mahabbah
Junaid bertutur tentang mahabbah, “Mahabbah adalah masuknya sifat-sifat yang Dicintai ke dalam diri yang mencintai, sebagai ganti dari sifat-sifat yang mencintai.” Maksudnya adalah jika seorang sufi telah benar-benar jatuh cinta kepada Allah, maka perhatiannya hanya akan tertuju pada-Nya. Tiada lagi perasaan yang tertuju kepada hal-hal lain yang masih tertinggal pada dirinya. Pada saat yang sama, dia akan menjadikan tempat di segala sudut dalam hatinya, hanya untuk Allah.
Namun demikian, semua ini hanya akan terjadi apabila diawali dengan menghilangkan sifat-sifat yang ada pada dirinya sebagai makhluk, dengan meyakini esensi Tuhan yang kekal. Lantaran ketika sifat-sifat kemanusiaannya hilang, pada saat itulah dia akan terhiasi oleh sifat-sifat Allah yang dicintai-Nya. Jika sufi tersebut masih merasakan sifat-sifat kemakhlukan pada dirinya, niscaya dia tidak akan dapat menghayati keindahan Allah yang dicintainya. Tetapi jika dia tahu bahwa keindahan Allah hanya dapat dicapai dengan usaha yang tekun dan pertolongan-Nya, maka ia pasti akan berusaha untuk meraihnya, sekalipun untuk itu, dia harus menghilangkan sifat-sifat dirinya. Sehingga dengan demikian, mahabbah yang sejati pada Tuhan akan terwujud.
4. Ajaran Mushahadah
Mushahadah berarti menyaksikan atau lebih jelasnya, “Melihat Allah dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala.” Hal ini berarti bahwa dalam ajaran sufisme, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Allah itu dapat dilihat. Menurut Al-Junaid, Allah hanya dapat dilihat melalui mata hati, bukan dengan mata kepala. Sehingga seandainya Allah dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti, maka Al-Junaid pun tidak ingin melakukannya.
Al-Junaid bertutur, “Apabila Allah berkata kepadaku: Lihatlah Aku, aku akan menjawab: Aku tidak dapat melihat Engkau ya Allah. Lantaran dalam cinta, mata adalah sesuatu yang lain selain Tuhan dan makhluk. Kecemburuan pada yang lain akan menjagaku dari melihat-Nya. Selain itu, ketika di dunia aku telah biasa melihat-Nya tanpa perantaraan mata kepala, maka bagaimana aku harus menggunakan perantaraan seperti itu di akhirat nanti.”
5. Ajaran Mithaq
Menurut Al-Junaid, yang dimaksud dengan mithaq adalah perjanjian yang terjadi antara Allah dengan ruh, sebelum dia masuk ke dalam tubuh manusia. Dimana akad ini terjadi ketika ruh tersebut diciptakan-Nya pada masa azali.
6. Ajaran Tentang Fana dan Baqa
Kontribusi Junaid terhadap tasawuf banyak, ide dasar berurusan dengan kemajuan yang menyebabkan orang untuk “memurnahkan” diri (fana) sehingga berada dalam serikat lebih dekat dengan Ilahi. Orang perlu “melepaskan keinginan alam, untuk menghapus atribut manusia, untuk membuang motif egois, untuk menumbuhkan kualitas spiritual, untuk mengabdikan diri kepada pengetahuan yang benar, untuk melakukan apa yang terbaik dalam konteks keabadian, keinginan baik untuk seluruh masyarakat, harus benar-benar beriman kepada Allah, dan mengikuti Nabi dalam hal syariat “. Ini dimulai dengan praktek penolakan (zuhud) dan berlanjut dengan penarikan dari masyarakat, konsentrasi intensif pada pengabdian (Ibadat) & mengingati (zikir) Allah, ketulusan (Ikhlas), dan kontemplasi (muraqaba) masing-masing; kontemplasi menghasilkan fana. Jenis “perjuangan semantik” recreates pengalaman persidangan (bala) yang penting dalam tulisan-tulisan Junaid. Hal ini memungkinkan orang untuk masuk ke dalam keadaan fana. Junaid membagi atas keadaan fana menjadi tiga bagian: “
1) yang meninggal dari atribut seseorang melalui upaya terus-menerus menentang ego-diri sendiri (nafs);
2) berlalu dari perasaan seseorang tentang prestasi, yaitu berlalu dari “kita berbagi salah satu padang pasir manis dan kenikmatan ketaatan‘; dan
3) lewat jauh dari visi tentang realitas” dari ekstansi Anda sebagai tanda nyata mengalahkan Anda’ “.
Semua tahapan ini membantu seseorang untuk mencapai fana. Ini adalah melalui tahap baqa yang satu dapat menemukan Tuhan – atau lebih tepatnya, memiliki Allah menemukan dirinya. Menjangkau baqa bukanlah hal yang mudah dilakukan meskipun; mendapatkan melalui tiga tahap membutuhkan disiplin yang ketat dan kesabaran. Bahkan ada perdebatan antara ulama, apakah tahap ketiga dimungkinkan untuk dicapai. Junaid membantu mendirikan “sadar” sekolah pemikiran sufi, yang berarti bahwa dia sangat logis dan ilmiah tentang definisi tentang berbagai kebajikan, Tauhid, dll.
Tasawuf dicirikan oleh orang-orang yang Pengalaman fana dan tidak hidup dalam keadaan penyerapan tanpa pamrih pada Tuhan tetapi menemukan diri mereka kembali ke indera mereka oleh Allah. Kembali tersebut dari pengalaman demikian dilarutkan mementingkan diri sebagai diri baru. Sebagai contoh, Junaid mengatakan, “Air mengambil warna dari cawan itu.” Meskipun ini mungkin tampak agak membingungkan pada awalnya, ‘Abd al-Hakeem Carney menjelaskan lebih baik: kita dituntun menuju konsep penting dari ‘kapasitas,’ dimana penampakan Ilahi diterima oleh hati setiap orang menurut orang itu tertentu menerima kapasitas dan akan ‘berwarna’ oleh alam seseorang “. Seperti yang dapat dilihat, seperti ungkapan yang sederhana memiliki arti yang mendalam seperti; ia membawa pembaca kembali ke pemahaman yang lebih dalam Tuhan melalui metafora yang lebih bijaksana.
Fana dan baqa ini merupakan sesuatu yang kembar dan datang bersamaan, sehingga jika seseorang mengalami fana (kesadaran diri hilang dan lenyap), maka bersamaan dengan itu muncul baqa (munculnya kesadaran akan kehadirannya di sisi Allah). Diri pribadi dengan segala sifatnya yang menyukai kesenangan dan keinginan duniawi, merupakan tabir penghalang bagi seorang sufi untuk mencapai persatuan dengan Allah. Sehingga semua penghambat tersebut, harus terlebih dahulu dihapuskan agar dapat mencapai puncak tertinggi dari sufisme. Atau dengan kata lain, untuk mencapai persatuan dalam Allah, maka semua sifat kemakhlukan yang ada pada diri manusia dan semua perasaan terhadap selain Allah, harus dihilangkan terlebih dahulu. Sehingga ketika hati benar-benar telah bersih dan siap ditempati Allah, maka inilah yang dimaksud dengan fana, yakni hilangnya kesadaran atas diri pribadi.
7. Ajaran Tauhid
Menurut Al-Junaid, tauhid adalah, “Pengesaan yang qidam (kekal) dari yang hadath (baru atau diciptakan).” Dengan pengertian ini, Al-Junaid ingin menegaskan bahwa tauhid merupakan pengesaan Allah yang kekal (qidam) dari makhluk ciptaan-Nya yang baru (hadith). Pengesaan ini berarti pemisahan Allah dari segala makhluk-Nya, termasuk di dalamnya pemisahan dari manusia.
8. Ajaran Makrifat
Menurut Al-Junaid, marifat adalah kesadaran akan adanya ketidaktahuan (kebodohan) ketika pengetahuan tentang Allah datang. Melalui definisi ini, dia ingin menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu berada pada ketidaktahuan tentang hakikat Allah. Dimana keadaan yang demikian ini, baru disadarinya ketika datang makrifat kepadanya. Pada saat itu, dia akan mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkenaan dengan Allah yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya.
Makrifat atau pengetahuan tentang Allah, akan dapat dicapai oleh seorang sufi, dalam keadaan fana tertinggi. Dimana pada saat itu, segala sifat kemanusiaan yang ada dalam dirinya hilang seketika. Semua keinginannya pada benda-benda duniawi terhapus. Kesadaran akan dirinya lenyap, digantikan oleh kesadaran akan kedekatannya pada Tuhan. Sedangkan yang masih tinggal pada dirinya hanyalah perasaan akan bersatunya ruh dirinya dalam Allah. Dan pada titik itulah sesungguhnya makrifat ini muncul menguasai dirinya. Di mana Allah dengan segala rahmat-Nya telah berkenan menganugerahkan makrifat itu kepadanya.
Makrifat menurut Al-Junaid merupakan milik Allah, yang hanya didapatkan melalui Dia dan akan ada bersama dengan-Nya sendiri.
9. Sahw (Kembali Pada Kesadaran)
Dalam sufisme, istilah sahw adalah kembalinya seorang arif (sufi) pada kesadarannya, setelah sebelumnya mengalami ghaybah (fana) dan kehilangan kesadarannya. Al-Junaid menjelaskan masalah sahw ini sebagai berikut, “Allah mengembalikan sufi kepada keadaannya semula, adalah agar dia dapat menjelaskan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga cahaya anugerah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-sifatnya sebagai manusia. Dengan demikian hal ini menjadikan masyarakat menghargai dan tertarik kepadanya.”
Sahw ini merupakan tahap terakhir setelah seorang sufi mengalami fana dan baqa. Pada kondisi inilah ujian sebenarnya bahwa seorang sufi harus mampu kembali kepada kesadarannya dengan hati yang telah disucikan oleh Allah. Para sufi ini harus mampu menyucikan hatinya secara terus-menerus dalam kesadaran manusia sehingga dia benar-benar menjadi yang mencintai dan dicintai Allah.
Junaid percaya bahwa Sufisme adalah jalan bagi elit untuk mencapai Allah, bukan orang biasa. “Tasawuf,” katanya, “adalah untuk membersihkan jantung dari setiap keinginan mengikuti jalan orang-orang umum”.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar Al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan, Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Sejak kecil, Al-Junaid terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan Al-Junaid al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junaid al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, Al-Junaid memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husain ibn Mansur Al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Dalam masa-masa hidupnya, Al-Junaid menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Al-Junaid melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Allah.
Bagi Al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syekh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf Al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Al-Junaid, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”. Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Al-Junaid .
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Allah mensucikan “hati” seseorang menurut kadar khusyuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan :”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, Al-Junaid al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Allah. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast.
Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan Al-Haqq (Allah), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali tasawuf Al-Junaid berlandaskan Al-Qur’an dan hadits. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran Al-Junaid tentang tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidi pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3. Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa Al-Junaid pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut Al-Junaid, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu:
(a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh;
(b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi;
(c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka Al-Junaid seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.”
Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami syariat tanpa hakikat ia fasik, barang siapa yang mendalami hakikat tanpa mendalami syariat ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Junaid Al-Baghdadi: Simbol Keharmonisan Tasawuf dan Syariat
Rubrik Hujjatul Tak hanya tasawuf, ia juga menguasai sejumlah bidang ilmu pengetahuan.Ajaran Islam tak hanya berbicara masalah fikih, ibadah, dan akhlak. Di dalamnya, juga dibahas tentang masalah tasawuf, yakni pendekatan diri kepada Allah melalui pemahaman yang lebih mendalam dengan hati. Istilah tasawuf ini sebenarnya sudah berkembang sejak masa Rasulullah SAW di Madinah. Dulu di Masjid Nabawi terdapat sekelompok orang yang disebut dengan ahlus suffah . Karena itu, ada yang menyebutkan bahwa tasawuf memiliki akar kata dari suffah . Namun menurut lainnya, tasawuf berasal dari kata shafa atau shufi yang berarti suci atau bersih. Dalam perkembangannya, praktik-praktik tasawuf baru meledak pada abad ketiga Hijriyah.
Menurut Dr Abu Al Wafa At Taftazani dalam bukunya Madkhal Ila At Tasawwuf al Islami, abad ketiga Hijriyah merupakan titik tolak dan sejarah penting bagi perkembangan tasawuf Islam. Al-Qusyairi dan Ibnu Khaldun menjelaskan, kata tasawuf sudah pernah digunakan sebelum abad kedua Hijriyah, tetapi pada abad ketigalah istilah tasawuf mulai dipergunakan secara luas. Pendapat Abu Al Wafa cukup berasalan. Sebab saat itulah tasawuf yang semula sebatas dipahami sebagai implementasi terhadap makna zuhud, mulai bergeser menjadi sebuah paradigma, gerakan, dan olah rasa di kalangan para pegiatnya. Meski masih ditafsirkan secara sederhana, pada periode ketiga Hijriyah muncul teori-teori sufi, seperti hulul, fana, dan tauhid. Selain itu, sejumlah tarekat sufi juga mulai menjamur. Ada Tarekat Al-Qashariyah, At-Thaifuriyyah, Al-Kharraziyah, An-Nuriiyah, dan Al-Hallajiyyah. Salah satu tokoh yang mempunyai andil besar dalam proses transformasi tasawuf pada abad ketiga adalah Imam Junaid.
Benturan pandangan para pengikut tasawwuf dan ahli fikih pada abad ketiga ini merisaukan Al Junaid. Mengapa harus dipertentangkan. Bukankah ajaran tasawwuf itu bersumber dari ajaran nabi. Begitu pula dengan fikih. Maka hendaknya kedua cara pandang yang cenderung hakikat-centris dan yang cenderung legalit-centris, dikompromikan. Dalam hal ini, Al Junaid mengatakan,
علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“ilmu (tasawwuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barang siapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini”
Frase Ilmunya merujuk pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui perjalanan spiritual. Pengetahuan yang kadang sulit dijelaskan oleh nalar manusiawi. Sehingga kadangkala dampak dari ilmu tersebut terbilang aneh bagi orang biasa. Semua merujuk pada tingkat ekstasie tertentu pada diri sufi yang tidak dapat dijelaskan secara nalar. Namun hal itu memang benar mereka rasakan. Mereka seperti masuk pada ruang tanpa batas. Pengetahuan tentang yang supra-gaib. Sehingga muncul sikap radikal dan liberal dalam pemikiran tasawwuf. Radikalisme dan liberalisme tasawwuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul. Keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran pemikiran semacam ini dalam pandangan Al Junaid, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawwuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawwuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah).
Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari sini, gagasan Al Junaid kemudian sangat kompatibel dengan pemikiran ahli fikih dan hadis. Dan inilah makna ucapan “dilandasi Al Kitab dan As Sunnah”.
Imam Junaid atau yang mempunyai julukan Abul Qosim ini adalah orang pertama yang menyusun dan membahasakan tasawuf, hingga tak jarang kitab-kitab tasawuf yang merujuk kepada ijtihad Imam Junaid. Dan beliau pulalah yang merangkum pertama kali kata-kata bijak Imam Abu Yazid al-Busthomi yang tidak lain adalah guru beliau sendiri.
Al-Junaid di kenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Qusyairi: Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang pengertian tauhid. Dia menjawab: “Orang-orang yang mengesakan Allah (al-muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakan, menafikan segala bentuk politeistik. Dia tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia tanpa padanan dan Dia adalah zat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Pengertian tauhid yang diberikan al-Junaid di atas tidak keluar dari pengertian yang diberikan oleh para teolog, sekalipun dia menguraikannya dari sudut pandang para sufi. Menurutnya, akal-budi tidak mampu memahami itu. Sebab, “seandainya pemikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran itu akan berakhir dengan kebingungan.” Dan katanya pula: “Ungkapan terbaik tentang tauhid adalah ucapan Abu Bakr al-Siddiq: Maha Suci Zat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya.”
Pengertian tauhid, sebagaimana diberikan al-Junaid, bahwa ia mengandung unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan fana’. Dengan menjadikan perjanjian azali sebagai titik tolak, seraya merujuk kepada al-Qur’an (QS. Al-‘An’am:164-168) menurut tafsiran sufi, ia memandang seluruh rangkaian sejarah ini sebagai upaya manusia dalam memenuhi perjanjian itu dan kembali ke ihwal asalnya. Dalam sebuah tafsir tentang percakapan yang konon berlangsung antara manusia dan Tuhan dahulu kala, al-Junaid menulis: “Dalam ayat ini Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada zaman tatkala mereka (anak-cucu Adam) belum maujud, tapi sudah maujud dalam diri-Nya. Kemaujudan ini bukanlah kemaujudan yang lazim dari ciptaan-ciptaan-Nya. Namun kemaujudan ini merupakan suatu kemaujudan yang hanya diketahui oleh Allah.
Tauhid yang hakiki menurut al-Junaid adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan yang qidam dari yang hudus. Ketika menjelaskan sebuah hadis: “Manakala Aku mencintainya, maka aku menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang menuntunnya dan mengaruniakan kepadanya hakikat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.
Tauhid yang begini, menurut al-Junaid, adalah tauhid bagi kelompok tertentu. Misalnya al-Tusi dalam kitabnya Al-Luma’, menuturkan: “Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid bagi kelompok tertentu (kaum khawas), jawabnya: Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah SWT.
Al-Junaid memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diuraikan dengan akal dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman dihadapan orang-orang awam (terutama sekali terhadap orang-orang yang memandang kegiatan para sufi dengan kecurigaan). Berdasarkan alasan inilah ia menolak al-Hallaj yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia cinta dan penyatuan. Oleh karenanya, al-Junaid memperhalus seni bicara melalui isyarat suatu kecenderungan yang mula-mula diprakarsai oleh al-Kharraz. Surat-surat dan risalah-risalahnya ditulis dengan gaya samar-samar; bahasanya begitu padat sehingga sangat sulit dipahami oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khas pengungkapan sufistik. Bahasa yang indah itu lebih menutupi daripada membukakan makna sebenarnya
Tasawuf dalam Pandangan Al Junaid
Dasar-dasar Tasawuf
“Kitab ini yaitu Al-Qur’an adalah kitab paling mulia dan paling lengkap. Syariah kita adalah aturan hidup yang paling jelas dan paling rinci. Tareqat kita, yakni jalan ahli tasawuf, dikuatkan dengan kitab dan sunnah.Maka barang siapa belum mendalami al-Qur’an, memelihara Sunnah danmemahami makna-maknanya tidak boleh di ikuti.” Ia juga berkata kepada sahabat-sabahatnya : “Seandainya kamu melihat seseorang terbang di udara maka janganlah kamu meyakininya hingga melihat perbuatannya berkaitan dengan perintah dan larangan Allah. Jika kamu melihat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka kamu boleh mempercayai dan mengikutinya. Tetapi jika kamu melihat ia melanggar perintah dan larangan itu maka jauhilah dia.”
Lingkungan Agung Para Sufi
“Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.” Dikatakan kepada Abdullah bin Sa’id bin Kilab, “Anda berbicara pandangan masing-masing ulama. Lalu di sana ada seorang tokoh yang dipanggil dengan nama al-Junaid. Lihatlah, apakah Anda kontra atau tidak?” Abdullah lalu menghadiri majlis al-Junaid.
Ia bertanya kepada al-Junaid tentang tauhid, lalu Junaid menjawabnya. Namun Abdullah kebingungan. Lantas kembali bertanya kepada al-Junaid, “Tolong Anda ulang ucapan tadi bagiku!” Al-Junaid mengulangi, namun dengan ungkapan yang lain. Abdullah lalu berkata, “Wah, ini lain lagi, aku tidak mampu menghafalnya. Tolonglah Anda ulangi sekali lagi!” Lantas al-Junaid pun mengulanginya, tetapi dengan ungkapan yang lain lagi. Abdullah berkata, “Tidak mungkin bagiku memahami apa yang Anda ucapkan. Tolonglah Anda uraikan untuk kami!” Al-Junaid menjawab, “Kalau Anda memperkenankannya, aku akan menguraikannya.” Lalu Abdullah berdiri, dan berkata akan keutamaan al-Junaid serta keunggulan moralnya.
“Apabila prinsip-prinsip kaum Sufi merupakan prinsip paling sahih, dan para syekhnya merupakan tokoh besar manusia, ulamanya adalah yang paling alim di antara manusia. Bagi para murid yang tunduk kepadanya, bila sang murid itu termasuk ahli penempuh dan penahap tujuan mereka, maka para syekh inilah yang menjaga apa yang teristimewa, berupa terbukanya kegaiban. Karenanya, tidak dibutuhkan lagi bergaul (terkait) dengan orang yang ada di luar golongan ini. Bila ingin mengikuti jalan Sunnah, sementara dirinya tidak bersaing untuk mahir dalam hujjah, lalu ingin mencapai peringkat bertaklid agar bisa sampai pada kebenaran, hendaknya ia bertaklid kepada ulama salafnya. Dan hendaknya bersama jalan generasi Sufi ini, sebab, mereka lebih utama dari yang lain.”
Tasawuf, Ilmu Paling Mulia
Al-Junaid berkata, “Jika Anda mengetahui bahwa Allah swt. memiliki ilmu di bawah atap langit ini yang lebih mulia daripada ilmu tasawuf, dimana kita berbicara di dalamnya dengan sahabat-sahabat dan teman kita, tentu aku akan berjalan dan menuju ilmu tadi.” Makna Hakikat Terdalam “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya.” Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. tanpa keterikatan apa pun.” “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Dia berkata pula, “Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi, “Tasawuf adalah dzikir bersama, penyampain yang disertai bimbingan, dan tindakan yang didasari Sunnah.”
Metafor Kaum Sufi
“Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuali segala tumbuhan yang baik.” Dia juga mengatakan, “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang di injak orang saleh maupun munafiq; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Dia melanjutkan, “jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Meninggal Dunia
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi Abu Bakar As-Syibli, seorang daripada muridnya.
Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.” Baca juga Kitab-mukaasyafatul-qulub-imam
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....