URGENSI KEMUSRSYIDAN ADALAH CARA SALIK BELAJAR TAUHID HAKIKI

URGENSI KEMURSYIDAN
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-kahfi: 17).
Peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru rohani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensinya dalam wilayah kesufian menjadi faktor utama dan dalam kontek orde perkumpulan tarekat-tarekat sufi telah di kukuhkan sebagai sebuah symbol dan tradisi Tasawuf. Tarekat identik dengan kemursyidan, tanpa mursyid tarekat tidak memiliki makna dan arti apa-apa. Tharekat tanpa mursyid ibarat kapal tanpa nahkoda.

Disisi yang lain kemursyidan sering kali ditolak oleh sebagian ulama, terutama ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan rohani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritika belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, dapat dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan sepiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Atha’illah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali, yang pada akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, “Bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid”. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Apa-apa yang diserap atau yang ditangkap dari ilmu adalah sebuah produk dari hasil amaliah atau kreasi yang bersifat tafsiri berdasarkan metode-metode berfkir yang di kenal dengan Ilmu logika atau Ilmu mantik dan lain-lain.

Sedangkan jalan berma’rifat kepada Allah SWT, tidak bisa begitu saja ditempuh dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih pemahaman dan pengatuan pada tataran Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin.
Walaupun mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan rohani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul.

Dalam keadaan ini, Arif Billa, Al-Qutub, Maulana Saidi syeakh Der Moga Barita Raja Muhamad Syukur, Quddasa Alaihi Zirru, pemimpin besar Waliyan Mursyidana, waahli silsilah at-Tharikatun Naqsyabandi al-khalidyah, berfatwa “BerTuhan tanpa mursyid hasilnya adalah Tuhan kira-kira, dan kebenaranya sangat sepikulatif karena untuk berma’rifat harus ada yang mengantarkan, harus ada yang menunjuki, sebagaimana Nabi Muhammad bin Abdullah bermakrifat kepada Allah diantar Jibril dengan menggunakan alat Buroq sebagai media”. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru (seorang pembimbing/Mursyid), maka gurunya adalah syaitan. Dan dalam Al-Quran (Al-Maidah-35) juga di sebutkan: bertaqwalah kamu dan carilah wasilah.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing rohani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya, dan Mursyidlah sebagai penunjuk Jalan dan mengantarkannya berma’rifat kepada Allah. Dan berma’rifat kepada Allah adalah wajib. “awaluddin ma’rifatullah, akhiruddin ma’rifatullah ”. (Hadist).





Seseorang yang hendak menuju ke jalan Makrifat kepada Allah Ta’ala, hendaklah dia berguru kepada guru-guru Hakiki dan Makrifat lagi Mursyid.

Pengertian hakiki dan makrifat sudah kita bahas bersama di dalam bab yang terdahulu, tetapi kita belum membahas tentang bagaimana caranya untuk mengetahui seseorang guru itu mursyid.

Adapun yang dinamakan guru adalah seorang manusia zahir ataupun ghaib yang mengajar seseorang didalam memahami suatu ilmu, dan guru ini akan memberikan nasehat-nasehat atau petunjuk-petunjuk tentang ilmu yang di ajarkannya.

Sedangkan guru mursyid akan memberikan pengetahuan ilmunya dan petunjuk-petunjuk mengikuti pengalaman dan jalan yang dipelajarinya kepada anak muridnya untuk diamalkan atau dikerjakan, sehingga bisa mencapai ke suatu martabat yang tinggi disisi Allah s.w.t. dan juga disisi manusia alam semesta ini.

Adapun yang dinamakan mursyid adalah suatu pengetahuan atau pengalaman yang pernah dilalui sendiri oleh seseorang yang menjadi guru, dan dia benar-benar menguasai semua hal tentang ilmunya dan pernah langsung mengalami sendiri tanpa diambil dari pendapat orang lain, cerita orang lain atau dari bahan-bahan bacaan yang kemudian ditafsirkan mengikuti fikiran mereka sendiri tanpa berdasarkan kepada Laduni.

Biasanya guru-guru yang mursyid itu terdiri dari orang-orang yang tinggi martabatnya didalam ilmu Hakiki dan Makrifat, karena sewaktu perguruannya dahulu, seseorang yang menjadi guru ini telah mengalami sendiri pengalaman pengajaran Laduni, yang kebanyakan ilmu Laduni ini membicarakan hal-hal tentang ilmu ghaib yang jauh keluar dari jangkauan pencapaian pemikiran manusia.

Dengan lain perkataan guru yang mursyid bisa diartikan seseorang yang mengajar muridnya dari hasil pengalaman ilmu pengetahuan yang dialaminya sendiri selama di alam Hakiki maupun di alam Makrifat.
Sesungguhnya dia tidak pernah meniru orang lain. Dia tidak pernah tertarik dengan cara-cara orang lain, tetapi hanya mewariskan ilmunya mengikuti pengalaman yang pernah dilaluinya sewaktu dia menjalani latihan ilmu hakiki dan makrifat bersama guru mursyidnya dahulu.

Guru-guru yang berpengalaman ini terdiri dari seorang guru yang pernah di bai’at kemudian di ” ijazahkan “ oleh guru mursyidnya untuk mewariskan ilmunya itu kepada bakal muridnya yang baru.
Ini adalah perlu karena tanpa seizin dari guru asalnya untuk mengajar kepada bakal muridnya yang baru, maka perhubungan mata rantai jalan hakiki dan makrifat itu tidak mungkin tersambung karena dari guru asalnya itulah maka sampailah jalannya kepada Rasulullah S.A.W.
Adalah tidak layak bagi seseorang yang menguasai ilmu Hakiki dan Makrifat untuk diajarkan kepada orang lain tanpa mendapat izin atau ijazah dari guru asalnya.

Disamping itu pengesahan ijazah bisa juga diperoleh oleh seseorang yang bakal menjadi guru melalui laduni, dimana didalam laduni tersebut seseorang itu mendapat bai`at untuk membolehkannya mengajar kepada orang lain, “ijazah” bisa di dapatkan dari salah seorang atau dua-duanya sekaligus yaitu Nabi Khidir a.s. atau daripada Rasululloh s.a.w.Pengesahan Laduni ini kemudian hendaklah dipersembahkan kepada guru mursyidnya yang zahir untuk disahkan olehnya.
Dengan mendapat pengiktirafan atau restu untuk menyebarkan petuah-petuah ilmu ini  maka seseorang itu bolehlah dianggap sebagai seorang guru yang Mursyid.
Dalam hal ini untuk bisa menentukan apakah guru-guru itu mursyid atau tidak  adalah menjadi kewajiban orang yang mau belajar tersebut untuk menyelidikinya terlebih dahulu mengenai asal usul atau titihan tarikat itu, dan harus dipastikan bahwa jalan tarikat  tersebut benar-benar bermata rantai dan mempunyai persambungan dari satu guru ke satu guru yang lain, dari seorang wali Allah ke satu wali Allah yang lain, sampailah kepada para sahabat dan Rasulullah s.a.w itu sendiri.

Perlu di ingatkan sekali lagi bahwa jika tarikat yang kita pelajari tidak mempunyai persambungan dengan Rasulullah S.A.W.  dan para sahabatnya maka jalan tarikat itu adalah termasuk jenis Tarikat rekaan atau tiruan atau palsu serta tidak bermaya.

Karena tarikat semacam ini dia tidak mempunyai saluran kepada Rasulullah s.a.w., maka jadilah jenis tarikat tersebut itu sesat karena tidak berakar umbi. Jika tarekat semacam ini yang mereka ikuti maka sudah barang tentu tujuan mereka untuk mendekatkan dirinya dengan Allah s.w.t. tidak tercapai.
Bagi guru-guru yang mursyid, dia akan mengajar muridnya secara beraturan dari satu peringkat ke satu peringkat berikutnya, dari satu martabat ke satu martabat berikutnya.
Disamping itu seorang guru mursyid akan mengikuti perkembangan ilmu muridnya pada setiap waktu dan dapat menerangkan kepada muridnya tentang :  Nur,  Tajali,  Sir,  Sirusir,  dan Tawassul  yang diterima oleh muridnya melalui Laduni.

Guru tersebut dapat menerangkan dengan jelas dari satu aspek ke aspek yang lain, dari satu ijtihadnya ke satu ijtihad yang lain berdasarkan pengalaman ilmu hakiki dan makrifat yang dilalui dan dialaminya sendiri sewaktu menjalani latihan dahulu bersama  dengan guru asalnya yang juga merupakan seorang mursyid.

Sebenarnya guru-guru yang Mursyid tidak bisa dilihat dari segi zahirnya saja, tentang status sosialnya, jumlah ilmu syariatnya, panjang sorbannya, wataknya, banyak kitabnya, jernih air mukanya, bertanda hitam di dahinya, bersopan santun orangnya dan lain sebagainya. Tetapi dia hendaklah dipandang dalam segi perawakan ilmunya.
Ini disebabkan karena banyak mereka yang mursyid menyelubungi ilmunya, merahasiakan ilmunya. Kadang-kadang banyak orang tidak mengetahui kalau dia merupakan seorang mursyid yang mempunyai martabat tinggi.

Seperti kata pujangga : “Janganlah sekali-kali kamu menilai pakaian seseorang itu menandakan dia tinggi derajatnya atau dia golongan orang-orang bijak, pandai, alim atau berketurunan baik-baik sekalipun memakai pakaian kain sutera dan intan berlian sekalipun yang ada itu kera juga.”

Oleh karena itu bagi mereka yang hendak mencari ilmu Hakiki dan Makrifat, hendaklah mencari dan menuntutnya dengan guru-guru yang mursyid, walaupun mereka terdiri dari seorang yang miskin, hina-dina, seorang yang perawakan gila, seorang yang perawakan jahat, mereka bisa saja dari golongan rakyat atau raja, mereka bisa ada di masjid atau ditepi jalan, mungkin di kota atau di hutan. Pendek kata belajarlah ilmu ini di mana-mana saja asalkan dari guru yang benar-benar mursyid.

Kelakuan dan perangai zahir seseorang itu tidaklah bisa dijadikan tolak-ukur untuk dijadikan patokan terhadap sifat mutlak kemursyidan seseorang itu, tidak semestinya seorang yang kelihatan jahil itu tidak alim, tidak semestinya seseorang jahat itu jahat, tidak semesti, tidak semesti ………………, tidak semesti ……………….., karena ilmu ghaib dan syahadah ini adalah suatu ilmu yang pelik lagi sulit untuk diterima oleh daya pikiran seseorang manusia dan banyak kelakuan yang ditunjuk oleh mereka yang menguasai ilmu ghaib dan Syahadah ini keluar jauh dari jangkauan akal manusia dan norma-norma masyarakat sekeliling.

Sebagai iktibar yang paling dekat adalah bagaimana Nabi Musa a.s. mencari dan menuntut ilmu ghaib dengan Nabi Khidir a.s. dimana Allah s.w.t.  menceritakan kepada kita beberapa peristiwa aneh yang terjadi.

Untuk mencari dimana Nabi Khidir a.s. tinggal itu saja sudah menjadi suatu persoalan sendiri kepada kita. Nabi Musa a.s. diperintah berjalan di sepanjang Laut Merah dan dia harus berjalan dan terus berjalan sehingga ikan kering yang menjadi lauk pauk bekal makanannya itu hidup kembali dan berenang kedalam laut. Jika difikir dengan akal sehat, bagaimana mungkin ikan yang sudah mati bisa hidup kembali.

Ini menunjukan bahwa dalam hal mencari guru saja sudah menimbulkan sesuatu diluar daya fikiran manusia dan ini membuktikan tingginya teknologi ilmu ghaib dan syahadah, dimana untuk mencari gurupun sudah sampai ke tahap yang begitu menyulitkan daya fikiran manusia, apa lagi  dengan ilmunya.

Ingatlah bahwa jarang sekali kita menjumpai seorang guru yang alim Syariat dan Muryid pula. Kalau berjumpa itulah seorang guru yang paling baik. Tetapi jika tidak bertemu guru yang seperti itu, maka sudah cukup bagi kita menjumpai seorang guru hakiki lagi Makrifat yang Mursyid.
Adapun diantara sifat-sifat dan syarat-syarat pada guru yang mursyid adalah :
Pertamanya    : Seorang guru itu sering menggunakan Al Qur’an sebagai buktinya.
Keduanya       : Menggunakan hadist Qudsi dan Hadist Nabi sebagai sandarannya.
Ketiganya       : Menggunakan kata-kata petuah guru-guru mursyidnya.
Keempatnya   : Menggunakan Qias dan Ijtihad Laduni dari hasil pengalamannya.

Adapun syarat-syarat sifat dan perangai yang sering ditunjuk oleh Guru Mursyid terhadap muridnya diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Hendaklah seorang guru itu mengajar murid-muridnya dengan jujur dan ikhlas.
2. Seorang  guru itu pandai memilih muridnya yang hendak diberi ilmu yang penting.
3. Seorang guru itu tidak menaruh perasaan dengki terhadap muridnya.
4. Seorang guru itu tidak menyembunyikan ilmunya yang layak  diterima  muridnya.
5. Seorang guru itu hendaklah berpesan kepada muridnya pesanan yang benar & hak.
6. Seorang guru itu tidak memperalat anak muridnya untuk kepentingan dirinya.
7. Seorang guru itu hendaklah senantiasa berdo’a kepada anak muridnya.

Ada juga guru-guru yang mursyid yang tidak penah meninggalkan syariat di dalam hidupnya. Dia akan hidup seperti orang alim pada umumnya.  Tetapi dalam hal ini tidak bisa dilihat dari sudut ini saja, hendaklah juga dipandang didalam sudut yang lain, sebab taraf martabat diantara satu manusia dengan manusia yang lain adalah berbeda-beda dan sulit untuk diterangkan disini. Baca juga UJIAN GURU SUFI TERHADAP MURID 

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

UKRAINA

My blogs

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

SEBASTOPOL

🔂 FOLLOWERS