DIRI KITA INI ADALAH BUKAN DIRI KITA
MASIH DI ALAM INSAN
Sebenarnya Martabat Alam Insan diperbincangkan
secara panjang lebar sebelumnya adalah bertujuan untuk menyadarkan kita semua
bahwa : DIRI KITA INI ADALAH BUKAN DIRI KITA.
Diri kita adalah diri yang ditajallikan oleh diri
kita sendiri pada Martabat Alam Ahdah, yaitu alam Gaibul-Gaib.
Dan nyatanya diri kita ini yang mempunyai diri zahir dan diri batin pada Martabat
Alam Insan adalah bagi menyatakan diri kita pada Martabat Alam
Ahdah yakni Martabat Ketuhanan itu sendiri.
Sesungguhnya Allah s.w.t. yaitu diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diri-Nya dengan Sifat-Nya sendiri, dan memuji Sifat-Nya dengan Asma-Nya sendiri, serta menguji Sifat-Nya dengan Af’al-Nya sendiri.
Sesungguhnya Allah s.w.t. yaitu diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diri-Nya dengan Sifat-Nya sendiri, dan memuji Sifat-Nya dengan Asma-Nya sendiri, serta menguji Sifat-Nya dengan Af’al-Nya sendiri.
Sesungguhnya
tiada sesuatu-pun pada diri kita kecuali diri Allah s.w.t. Tuhan Semesta Alam
semata-mata.
Di dalam perbincangan yang begitu
panjang, kita telah membahas tentang Ahdah. Wahdah, Alam Roh,
Alam Misal, Alam Ijsan dan Alam Insan yang merupakan Peringkat
Tajalli diri kita pada martabat Ketuhanan sampai-lah diri
kita NYATA dengan satu tubuh yang utuh berbangsa MUHAMMAD pada Alam
Insan untuk menyatakan diri kita sendiri pada Martabat Tuhan.
POSTINGAN SKP : KEWUJUDAN ALLAH DITANGGUNG OLEH MANUSIA
POSTINGAN SKP : KEWUJUDAN ALLAH DITANGGUNG OLEH MANUSIA
Sesungguhnya
tidak mungkin nyata Tuhan Semesta Alam itu tanpa wujud dan zahir-nya diri kita
berbangsa Muhammad, dan sesungguhnya tidak mungkin zahir dan wujud-nya diri
kita berbangsa Muhammad ini tanpa diri kita pada martabat Ahdah yaitu martabat
Ketuhanan.
Sesungguhnya zahirnya diri kita ini sehingga berbatang tubuh berbangsa Muhammad adalah melalui TUJUH PROSES peringkat tajalli.
Pertama-nya adalah peringkat Martabat Ahdah,
keadaan diri kita pada Martabat Ahdah adalah dalam keadaan KUN
ZAT yaitu dalam keadaan belum nyata zat sekalipun, dimana diri
kita dengan diri Tuhan adalah satu.
Diri kita itulah Tuhan dan diri Tuhan itu
adalah kita, pada saat itu tiada HAMBA tiada TUHAN dan
pada martabat ini belum ada sesuatu apapun yang wujud dan zahir kecuali yang
nyata adalah diri kita sendiri saja pada martabat diri sendiri.
Pada martabat ini tiada AWAL tiada AKHIR, tiada
ZAHIR dan tiada BATIN,tiada SIFAT tiada ZAT, tiada ASMA
tiada AF’AL, tiada BULAN tiada BINTANG, tiada LANGIT
dan tiada BUMI. tiada dan tiada……………. kecuali hanya diri kita sekita-kitanya.
Dalam keadaan begini, kita memutuskan dengan diri
kita sendiri untuk menyatakan diri kita sendiri dengan sifat kita sendiri. Maka
kita tajallikan diri kita sendiri di dalam suatu martabat yang bernama Wahdah.
Pada peringkat martabat Wahdah ini zat diri kita telah nyata tetapi
sifatnya belum nyata KUN SIFAT, keadaan seperti ini
disebut KEADAAN NYATA YANG TIDAK NYATA (nyata pada diri zat
saja).
Jadi diri kita pada martabat ini nyata
dalam NUR ALLAH itulah sifat batin di dalam batin yang
pertama yang dikatakan LA TA’YAN AWAL
Oleh karena itu pada masa ini, kita belum dapat menentukan sifat kita sendiri yaitu diantara alam KABIR dengan alam SHAGIR yang mana kedua alam inilah yang menjadi pe-NYATA-an WAJAH dan diri kita ketika nyatanya sifat kita nanti.
Karena hal tersebut diatas maka kita nyata-kan lagi diri kita pada MARTABAT WAHDAH, dimana pada martabat ini diri kita telah nyata pada sifat kita mengikuti bangsa-nya masing-masing.
Pada saat itu ada di-antara diri kita yang
menjadi BULAN, menjadi BINTANG, menjadi MATAHARI,
menjadi BUMI, menjadi LANGIT dan lain-lain
sebagainya atau dengan kata lain nyata-nya wajah kita ini meliputi
seluruh Alam kabir (alam semesta) maka keadaan nyata seperti inilah
disifatkan sebagai nyata.., akan tetapi diri rahasia kita belum nyata
pada sifat yang manapun.
Sesungguhnya untuk menyatakan Diri Rahasia itu, maka kita tajallikan diri kita ke satu peringkat lagi yaitu ke ALAM ROH untuk menyatakan sifat kita pada sifat diri Insan yaitu batang tubuh berbangsa Muhammad (manusia). Maka pada peringkat Alam Roh sifat batin untuk manusia, yaitu diri sifat batin kita yang mengandungi Diri Rahasia kita dinyatakan maka disaat inilah per-sumpah-an (Ikrar-Janji) di antara diri kita dengan sifat kita terjadi untuk tujuan mencapai maklumat asal tajalli diri kita, untuk menyatakan diri kita dengan sifat kita, dimana sifat kita akan menyaksikan dan mengenali diri kita yang sebenarnya.
Itulah harapan kita untuk menyatakan diri kita
kepada sifat kita yang bernama MANUSIA yang bakal dinyatakan
melalui peringkat tajalli pada Alam Misal dan Alam Ijsan nanti.
Maka, akan nyatalah per-saksian diri kita oleh
sifat kita guna menyatakan diri kita sendiri dan sesungguhnya itulah maklumat
terjadinya tajalli tersebut.
Oleh karena diri kita di dalam INSAN pada Martabat
Alam Roh belum nyata, maka kita-pun men-tajalli-kan diri kita ke Alam
Misal yaitu Alam Kandungan Bapak seorang manusia,
kemudian tinggallah diri kita di dalam Alam Bapak itu selama 40 hari dan
ter-bentuk-lah diri kita dalam keadaan DI, WADDI dan MANI serta
ber-pindah-nya diri kita yang berada dalam LENDIR MANI Alam Misal (Mani
Bapak) dan dipindahkan lagi ke Alam Ijsan agar
dapat sifat diri batin kita (roh) dicantumkan dengan satu sifat
zahir yang berbangsa Muhammad s.a.w. tinggalah kita di Alam Ijsan selama 9
bulan, 9 hari, 9 jam, 9 menit, 9 detik, 9 second dan keluar-lah
sifat zahir diri kita daripada Alam Ijsan yaitu Kandungan Ibu berupa sifat apa
yang di-nama-kan MANUSIA dan di dalam sifat batang tubuh Manusia
yang berbangsa Muhammad s.a.w. itulah terkandung diri kita yang
menjadi rahasia kepada sifat diri manusia itu sendiri.
Sesungguhnya diri kita yang berada dalam sifat
zahir yang berbangsa Muhammad s.a.w. itulah yang
dikatakan ALAM INSAN. Kesimpulan daripada penjabaran, proses tajalli
diri kita hingga NYATA-nya diri ini adalah Diri yang mengandungi diri Rahasia kita
yaitu diri Tuhan semesta alam.
Oleh karena itu, kita yang berada dalam diri sifat kita yang bernama manusia itu menjadi Rahasia kepada diri manusia itu. Maka adalah menjadi tanggung-jawab diri kita pada martabat zahir ini, berusaha menyucikan diri Sifatnya untuk kembali menjadi TUHAN sebagaimana diri kita pada asalnya.
Sesungguhnya bagi seorang manusia sudah menjadi
maklumat hidupnya untuk me-MAKRIFAT-kan dirinya dengan Allah s.w.t.
yakni kembali semula menjadi sebagaimana asal-nya.
Dan sesungguhnya untuk kembali menjadi Tuhan
semula, dan mencapai proses penyucian dirinya sampai ke peringkat Martabat
Ahdah itulah yang menjadi maklumat sebenar-nya pengajian
Makrifat.
Disamping itu adalah perlu ditegaskan disini, bahwa tidak mungkin bagi seorang diri manusia dapat me-MAKRIFAT-kan dirinya dengan Allah s.w.t. yakni Tuhan Semesta Alam sepanjang manusia tersebut tidak kembali semula menjadi TUHAN, yaitu HAKEKAT USUL DIRINYA.
Disamping itu adalah perlu ditegaskan disini, bahwa tidak mungkin bagi seorang diri manusia dapat me-MAKRIFAT-kan dirinya dengan Allah s.w.t. yakni Tuhan Semesta Alam sepanjang manusia tersebut tidak kembali semula menjadi TUHAN, yaitu HAKEKAT USUL DIRINYA.
“Insun anakseni ing Datingsun
dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune
Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun,
Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan
kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati,
iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna
padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang
nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita,
WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi
Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta,
1908, hlm.15-16).
Terjemahan,
“Aku angkat saksi di hadapan zat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan
kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku,
sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahasia-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah zat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah zat
yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah zat yg kekal tidak ada perubahan
dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah zat yang
Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian,
sempurna terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya
Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini,
terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman
spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni : sejak
fana’nya Bayazid al-Busthami “Maha Suci Aku”, Junaid al-Baghdadi, “ana
al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh
al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya.
Kita me-NYATA-kan sifat dirinNya
Bila menuntut barulah FAHAM
Kalau TAK FAHAM silahkan berguru dan silahkan
bertanya kepada Mursyid saudara Masing-masing !
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....