SEKEPING TANAH PEMILIK PENDUDUK TUA
Khalifah
Mansur bin Abi Amir al-Hajib, penguasa Andalusia, Spanyol, berencana
membangun jembatan besar untuk menghubungkan dua sisi kota yang
terbelah sungai. Berdasarkan penghitungan sejumlah ahli bangunan, biaya
pembuatan itu mencapai 140 ribu dinar emas.
Studi
kelayakan telah dibuat. Bagi Mansur al-Hajib, biaya tak jadi soal.
Pemerintah telah menghitung untung rugi pembangunan jembatan. Yang
penting, kedua sisi kota bias berhubungan dengan lancar, kegiatan
ekonomi bertambah baik, dan kemakmuran rakyat meningkat.
Namun,
pembangunan jembatan tak segera bisa dilakukan. Ada sekeping tanah
milik seorang penduduk tua di seberang sungai yang harus dibebaskan
lebih dahulu. Kendati kecil, tanah itu sangat diperlukan, sebab
disanalah pangkal jembatan ditancapkan.
Mansur
al-Hajib lalu mengutus pembantunya untuk menawar ganti rugi kepada
pemilik tanah. Orang tua itu member harga sepuluh dinar emas. Pembantu
Khalifah setuju. Dengan dihadiri dua orang saksi, saat itu juga
transaksi dilakukan.
Pemilik tanah tua itu tampak girang. Seumur hidupnya, baru kali ini menggenggam uang sepuluh dinar. Baca juga KESADARAN
Seandainya
tanah itu ditawar lima dinar saja, katanya dalam hati, sebetulnya ia
akan serahkan, “Saya akan segera membeli tanah baru dan menyimpan
sisanya untuk bekal hari tua,” begitu pikirnya.
Para
pembantu al-Hajib juga pulang ke istana dengan riang. Mereka merasa
sudah menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan mendapat harga yang tidak
terlalu tinggi. Tetapi, ketika kesepakatan pembelian itu dilaporkan ke
Mansur al-Hajib, seketika wajah Sang Khalifah penguasa Andalusia itu
berubah, “Jemput orang tua itu. Bawa ke istana sekarang juga!” titahnya.
Dengan
wajah pucat, orang tua pemilik tanah itu dibawa ke istana. Berbagai
pikiran bergulat di benaknya. Tetapi, Mansur al-Hajib menyambutnya
dengan muka berseri, lalu bertanya, “ Betulkah kau jual tanahmu dengan
harga 10 dinar emas?”
“Benar, tuanku,” jawabnya pelan.
“Tanah itu diperlukan untuk kepentingan umat, kepentingan umum,” kata Mansur al-Hajib.
‘Ku
ucapkan terima kasih atas kesediaanmu menjual tanah itu dengan harga
begitu murah. Sekarang, kau terimalah Sembilan kali sepuluh dinar lagi,
agar harganya genap 100 dinar. Semoga Allah memberkatimu.”
Saking
sukacitanya, seluruh persendian tubuh pemilik tanah serasa lunglai. Ia
sama sekali tak menyangka akan mendapat penghargaan luar biasa dari
pemerintah.
Agar
mudah berpikir positif adalah kita banyak mengisi pikiran dengan ragam
kebijaksanaan, baik yang berupa wejangan, peribahasa, idiom, maupun
aforisme, yang kemudian kita renungkan, untuk selanjutnya direalisasikan
dalam hidup sehari-hari.
Yang
kita butuhkan adalah keseriusan dalam mengumpulkan ragam informasi yang
memiliki nilai-nilai kebijaksanaan hidup, atau istilahnya informasi
yang dapat menggugah semangat jiwa kita. Tak peduli informasi tersebut
berasal darimana dan siapa, selama ia mengandung nila-nilai kearifan,
kebijaksanaan, kelembutan, dan kasih sayang, insya Allah, kita
diperkenankan untuk menggunakannya.
Yang
perlu diperhatikan dalam strategi ini adalah kejujuran intelektual.
Dalam artian, bila kebijaksanaan tidak berasal dari si A, ya jangan
dikatakan berasal dari si A. Bila informasi berasal dari si A, ya
katakana dari si A jangan katakan dari si B. Sebab bila ketidakjujuran
intelektual kita tumbuh suburkan dalam hidup sehari-hari, maka sebanyak
apapun kepostifan yang kita ambil dari informasi tersebut, pada dasarnya
kita tetap melakukan kenegatifan, yakni kebohongan.
Selanjutnya,
yang tidak kalah penting dalam hal ini adalah, jangan sekali-kali kita
menganggap kebijaksanaan orang lain itu keliru hanya karena nafsu kita
tidak menerimanya. Begitu juga sebaliknya, jangan karena nafsu kita
menyukai seseorang, kemudian apapun yang diucapkannya kita anggap
sebagai kebijaksanaan yang patut diikuti.
Menyangkut masalah ini, Imam Wakik bin Jarah ‘Abu Sufyan’ menyatakan :
“Seorang
ilmuwan akan mencatat semua kebijaksanaan tentang suatu persoalan, baik
kebijaksanaan yang menyetujui atau menentang pendapatnya. Sedang orang
yang mengikuti hawa nafsu, hanya akan mencatat (menggunakan)
kebijaksanaan yang mendukung pendapatnya saja, sedang kebijaksanaan yang
berseberangan dengan pendapatnya akan disembunyikan”. (ad-Daruqutni,
2001, volume 1, hlm. 77-78). Baca juga Langkah-langkah-menjadi-pekerja
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....