MENINGKATKAN DERAJAT KEWALIAN CARANYA DENGAN MENCINTAI DAN MENYANGI WANITA
Wanita adalah cahaya Tuhan
Dan dia bukan kekasihmu
Wanita adalah pencipta
Dan bagimu, dia juga tidak diciptakan.
Bait syair itulah yang ditulis oleh Rumi dalam Mastnawinya. Ia menegaskan pada umat manusia semuanya bahwa sosok wanita, karena kemulyaan dan qodratinya, mampu membiaskan “bayang-bayang” Tuhan di semesta ini, yang oleh Ibnu Arabi disebut sebagai miniatur semesta atau mikrokosmos (al-alam al-shaghir), yang dalam dirinya tercermin bagian-bagian dari jagad raya atau makrokosmos ini.
Oleh karenanya sungguh benar kalau para sufi ahli ma’rifat, untuk meningkatkan derajat kewalian, salah satu caranya adalah dengan mencintai dan menyayangi wanita (Murata, 2000 : 249).
Mengapa dengan mencintai dan menyayangi wanita bisa meningkatkan derajat kewalian seseorang?. Apakah sosok wanita mempunyai “Akup-Akup” untuk menghantarkan seseorang menuju Arsy Tuhan di Lauh Mahfudz sana?, ataukan ia mempunyai keteduhan bak lautan yang menyimpan mutiara-mutiara spiritual di dasarnya ?.
Bukankah selama ini wanita sering dianggap sebagai tali jeratnya syetan (haba’il al-syaithan), wanita dianggap sosok penggoda di dunia, wanita amat rendah derajatnya, bahkan dalam tradisi Arab jahiliyyah sosok wanita dianggap manifestasi dari syetan di dunia, sehingga muncul syair Arab yang mengatakan : "Inna al-nisa’a syayyathinu khuliqna lahum Wa na’udzubilaahi min syarri al-syayyathin".
Sesungguhnya wanita adalah syetan yang diciptaan untuk manusia, Dan kita seyogyanya berlindung dari godaan wanita.
Ternyata, stereotipe miring tentang wanita tersebut, tidak diamini oleh para sufi seperti Ibnu Arabi, al-Jandi, al-Kasyani, dan Rumi, bahkan dengan lantang Ibnu Arabi mengatakan bahwa wanita merupakan “cermin” pantulan cahaya Tuhan yang paling sempurna di dunia.
Sesungguhnya wanita adalah syetan yang diciptaan untuk manusia, Dan kita seyogyanya berlindung dari godaan wanita.
Ternyata, stereotipe miring tentang wanita tersebut, tidak diamini oleh para sufi seperti Ibnu Arabi, al-Jandi, al-Kasyani, dan Rumi, bahkan dengan lantang Ibnu Arabi mengatakan bahwa wanita merupakan “cermin” pantulan cahaya Tuhan yang paling sempurna di dunia.
Berdasarkan teori insan kamil nya, Ibnu Arabi berpendapat hanya ada satu realitas tunggal di semesta ini, yaitu Allah. Sedangkan semesta ini hanya sebagai wadah dari pantulan cahaya-Nya. Penampakan (tajalli) Allah pada alam ini, dikarenakan Ia (Allah) ingin dikenal dan ingin melihat citra diri-Nya melalui alam tersebut. Untuk itu, Ia memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. Dengan demikian, alam fenomena ini merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi.
Tanpa adanya alam ini, maka sifat dan nama-Nya akan senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada Dzat Tuhan, dan tidak akan dikenal oleh siapapun. Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalli Ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya yang terbatas. (Arabi, tt: 48-49).
Akan tetapi, alam empiris yang serba ganda ini, berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara sempurna dan utuh. Artinya bagian-bagian alam ini, hanya mampu mencitrakan bagian-bagian dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya secara sepotong-potong, tidak utuh dan sempurna. Jadi, alam ini masih merupakan bentuk tanpa ruh, laksana cermin buram yang belum mampu memantulkan gambaraan Tuhan secara paripurna. Tuhan, baru dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna dan utuh pada diri manusia, yang oleh Ibnu Arabi disebut Insan Kamil, yaitu orang yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna (Ali, 1997: 55).
Sosok Insan Kamil tersebut tidak mengenal jenis kelamin, suku dan golongan (atqakum). Dan sepanjang hayat model Insan Kamil yang paling sempurna adalah Muhammad Putra Abdullah. Kemudian, pada masa setelahnya, siapakah yang lebih “cocok” bisa mencerminkan cahaya Tuhan?. Ternyata, para sufi termasuk Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi, lebih memilih sosok wanita sebagai “cermin” yang paling bersih mampu membiaskan “bayang-bayang” Tuhan di dunia ini.
Hal ini dikarenakan secara qodrati, wanita mempunyai “kesamaan” dengan Tuhan, yaitu mencipta, bahkan sebagai locus pecipta manusia sempurna (akmal al-Insan al-Kamil) Muhammad SAW. Lebih dari itu, pencitraan Tuhan dalam diri wanita merupakan “penyatuan” antara sifat Aktif Tuhan dalam mencipta dan berkreasi, yang dalam istilah Tao disebut Yang, dengan sifat pasif wanita (Yin) yang hanya sebagai tempat aktifitas.
Maka sungguh tepat kalau Ibnu Arabi menyebut pencitraan Tuhan dalam diri wanita ini sebagai cara pengungkapan atau tajalli Tuhan yang paling lengkap dan paling sempurna, karena terlihat sekaligus adanya sifat Yin dan Yang, yang berupa keagungan Tuhan (Jalal) dan keindahan Tuhan (Jamal) dalam diri sosok seorang wanita. Berkaitan dengan kesempurnaan tajalli Tuhan pada wanita ini, Ibnu Arabi mengatakan dalam Futuhat Maakkiyyat ;
“Aku dahulu tidak menyukai kaum wanita dan hubungan seksual ketika pertama-tama memasuki jalan ini (tasawuf). Hal ini berlangsung kira-kira delapan belas tahun hingga Aku menyaksikan tingkat yang lebih tinggi. Pada saat itu Tuhan telah membuat Aku mencintai wanita, dan Aku menjadi makluk yang paling kuat dalam menjaga dan memenuhi hak-haknya".
Kecintaan seseorang kepada sesuatu, yang pada akhirnya mampu membawanya menyerap sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, itu berarti sesuatu tersebut, memang telah menjadi “cermin” Tuhan. Ibarat orang yang mampu melihat matahari ditempat rindang melalui cermin, maka berarti cermin telah mampu memantulkan cahaya matahari dengan sempurna.
“Aku dahulu tidak menyukai kaum wanita dan hubungan seksual ketika pertama-tama memasuki jalan ini (tasawuf). Hal ini berlangsung kira-kira delapan belas tahun hingga Aku menyaksikan tingkat yang lebih tinggi. Pada saat itu Tuhan telah membuat Aku mencintai wanita, dan Aku menjadi makluk yang paling kuat dalam menjaga dan memenuhi hak-haknya".
Kecintaan seseorang kepada sesuatu, yang pada akhirnya mampu membawanya menyerap sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, itu berarti sesuatu tersebut, memang telah menjadi “cermin” Tuhan. Ibarat orang yang mampu melihat matahari ditempat rindang melalui cermin, maka berarti cermin telah mampu memantulkan cahaya matahari dengan sempurna.
Hal inilah yang dialami oleh Ibnu Arabi, dia mampu melihat “matahari Tuhan” melalui sebuah cermin yang paling sempurna, yaitu sosok wanita. Dan sosok inilah menurutnya sebagai “cermin Tuhan” diantara beberapa cermin yang paling mampu menggambarkan sifat dan nama Tuhan secara utuh dan bersamaan. Sampai-sampai Ibnu Arabi pernah mengarang kitab yang dinamakan Tarjuman al-Asywaq karena inspirasi perempuan cantik yang dilihatnya ketika tawaf di Ka’bah. Ternyata ketika melihat perempuan tersebut, hatinya langsung tertuju pada Tuhan, dan sosok wanita tersebut mampu membawa alam imajinasinya menemui Tuhan Semesta Hal sepeti itulah yang menjadikan para sufi termasuk Ibnu Arabi menganggap wanita sebagai “cermin Tuhan” di dunia, yang mampu menghantarkan mereka untuk menemui Tuhan Semesta.
Dalam satu hadisnya, Nabi pernah mengatakan; “Tiga hal dari dunia ini dibuat memikat padaku: yaitu kaum wanita, parfum, dan kesejukan mataku ketika shalat”(HR. Ibnu Majah). Nabi Muhammad, sebagai sosok Insan Kamil paling ideal (akmal al-Insan al-Kamil) dibuat tertarik dan mencintai tiga hal yang tentunya baik, dan menurut para sufi mampu menghantarkan pada Tuhan. Dalam shalat, Nabi menemukan kedamaian dan merasa beraudiensi dengan Tuhan. Kemudian dalam hal bau-bauan harum, ini akan membawa pada pencitraan keindahan (jamal) Tuhan, dan pada sosok wanita, ketertarikan itu akan membawa pada alam “imajinasi Ketuhanan”. Ini memperlihatkaan bahwa sosok wanita itu menyimpan kemampuan yang luar biasa, salah satunya adalah sebagai “cermin Tuhan” di dunia.
Menurut para sufi, segala cinta dan kesenangan itu tertuju pada Tuhan. Begitupun kecintaan seseorang pada wanita, itu sebenarnya perwujudan kecintaan pada Tuhan. Seperti halnya Nabi Muhammad sebagai manusia paling sempurna yang tidak mungkin salah menunjukan rasa cintanya, itu mencintai kaum wanita. Hal ini menunjukan bahwa pada hal-hal yang dicintai Nabi itu terdapat kebaikan dan kemulyaan, karena Nabi tidak mungkin dibuat mencintai sesuatu selain Tuhan. Ini bukan berarti kaum wanita, minyak wangi, dan shalat itu dianggap sebagai Tuhan, melainkan ketiga hal tersebut, khususnya kaum wanita dapat memancarkan sifat-sifat dan nama-nama keagungan serta keindahaan Tuhan.
Kemudian apakah semua kaum wanita tanpa terkecuali bisa sebagai “cermin Tuhan” di dunia?. Secara keseluruhan, sebenarnya kaum wanita mempunyai potensi jasmaniyah maupun spiritual untuk memantulkan “bayangan Tuhan” di alam ini. Permasalahannya kemudian, apakah potensi itu dilatih atau tidak. Ketika kaum wanita tidak mau mengasah dan menjaga potensinya, maka dia hanya laksana cermin buram lagi retak yang tidak bermakna, lebih-lebih mampu membiaskan cahaya suci ketuhanan di alam semesta. Akan tetapi ketika potensi itu diasah dan dikembangkan dengan benar-benar, maka dia akan menjadi sosok Insan Kamil yang mencerminkan esensi Tuhan di dunia, jiwanya laksana mutiara universal, tubuhnya mencerminkan Arsy, pengetahuannya laksana samudra Ilmu Tuhan, hatinya berhubungan dengan Bait al-Ma’mur, kemampuan mental spiritualnya berhubungan dengan malaikat, daya ingatnya laksana kecemerlangan Saturnus, dan inteleknya bagaikan kekuatan Yupiter.(Arabi, 1919: 211).
Pertanyaan selanjutnya, masih tersisakah sosok wanita yang mampu menjadi “cermin” Tuhan tersebut?. Diantara jutaan kaum wanita di dunia, yakinlah masih tetap ada, walau seperti mencari burung gagak yang berbulu putih. Akan tetapi meski tidak bisa menjadi sosok ideal “cermin Tuhan” secara utuh, paling tidak bisa membiaskan sebagian atau mampu memantulkan unsur sifat keindahan Tuhan (jamal) dari dalam dirinya. Kalu inipun masih belum bisa, maka paling tidak setitik sinar Tuhan (nur Allah) harus ada dihatinya, sebagai petunjuk jalan, dan obor dalam keremangan kehidupan.
Ketika wanita memang menjadi cermin Tuhan di dunia, maka menjadi benarlah syair yang didendangkan oleh Umar bin Khattab dalam mengagungkan wanita : "Inna al-Nisa’a rayyahinu khuliqna lakum Wa kullukum yashtahi syamma al-rayyahin".
Wanita adalah ibarat bunga surga nan harum semerbak yang diciptakan untukmu
Dan setiap kamu pasti senang mencium bunga surga tersebut. Baca juga Hikmah-kisah-hassan-basri-dan-rabiatul
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....