HIKMAH DARI KISAH TRAGIS PEBBLE
Ketika
pertama kali menawarkan produk Pebble melalui Kickstarter, sang pendiri
Eric Migicovsky cuma berharap mendapatkan dana US$ 100 ribu. Namun
hanya dalam beberapa jam, dana tersebut sudah terkumpul. Bahkan di akhir
periode, Pebble mendapatkan dana sampai US$ 10 juta dan pemesanan 85
ribu jam Pebble.
Kisah
tersebut menjadi awal manis bagi Eric, pemuda berusia 30 tahun asal
Belanda. Kisah Pebble juga menjadi semacam ikon bagi semangat
entrepreneur dan layanan crowdfundingseperti Kickstarter.
Berawal
dari sebuah pemikiran sederhana tentang jam yang bisa menampilkan
notifikasi, Pebble menjadi produk fenomenal karena mendapatkan pendanaan
dari masyarakat luas. Tak heran pada tahun 2013, MIT Technology Review
memasukkan Eric ke dalam daftar prestisius 35 Innovator Under 35.
Kesuksesan
Pebble juga menarik para investor. Pada tahun 2014, raksasa Intel
mencoba membeli Pebble dengan nilai US$70 juta. Namun Eric menolak
tawaran tersebut. Nilai lebih besar ditawarkan produsen jam asal Jepang,
Citizen, juga berniat membeli Pebble dengan nilai yang lebih
spektakuler, yaitu US$740 juta. Namun lagi-lagi, tawaran menggiurkan itu
ditolak Eric.
Eric
sepertinya percaya Pebble akan menjadi smartwatch yang menjadi pilihan
populer banyak orang. Ketika Apple merilis Apple Watch, Eric tidak
menunjukkan kekhawatiran. “Fokus Apple adalah menjadi Rolex-nya
smartwatch” ungkap Eric. Hal ini berbeda dengan Pebble yang lebih mirip
Swatch-nya smartwatch.
Masalahnya,
keyakinan Eric tersebut berdasarkan asumsi pasar smartwatch akan terus
berkembang. Padahal kondisi pasar menunjukkan kebalikannya. Data IDC
menunjukkan, distribusi smartwatch di kuartal tiga 2016 hanya 2,7 juta
unit; turun 51,6% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Hal
ini menunjukkan konsumen yang menginginkan perangkat pintar di
pergelangan tangan masih sangat minim. Situasi kian sulit mengingat
Pebble harus bersaing dengan pemain besar seperti Apple, Garmin, atau
Samsung.
Tanda-tanda
kehancuran Pebble bisa terlacak awal tahun kemarin, ketika mereka
memecat 40 karyawan, alias 25% tenaga kerjanya. Pebble kabarnya juga
sibuk mencari pinjaman bank untuk mendukung operasionalnya karena
investor utama Pebble sudah enggan menyuntikkan dana lebih besar ke
perusahaan yang berpusat di Palo Alto ini.
Akhirnya
kisah Pebble pun berakhir tragis. Pebble kini resmi bangkrut. Fitbit
sepakat membeli teknologi serta sebagian karyawan potensial Pebble
dengan nilai US$40 juta; jauh dari tawaran yang pernah didapat Pebble.
Dana
ini akan digunakan Pebble untuk membayar utangnya ke bank dan investor,
meski nilainya diperkirakan belum mencukupi. Pebble harus menjual aset
lainnya untuk bisa membayar keseluruhan utangnya.
Bangkrutnya
Pebble juga membuat pengguna kena getahnya. Dalam pengumuman resminya,
Pebble menyebut layanan purna jual terhadap produk Pebble akan
dihentikan. Produk Pebble yang sudah ada di tangan konsumen juga tidak
akan lagi mendapat update.
Nasib
apes juga akan dihadapi pendonor di Kickstarter yang Mei kemarin
memberikan pendanaan ke lini produk baru Pebble. Para pendonor, yang
nilainya mencapai US$12,8 juta, tidak akan mendapat produknya.
Mereka memang akan diberi uang pengganti oleh Kickstarters, namun penggantian itu masih menunggu sampai Maret 2017 nanti.
Pendek
kata, Pebble adalah contoh bagaimana mimpi seorang entrepeneur harus
dibarengi kejelian membaca situasi. Jika tidak, tawaran menggiurkan
terlanjur ditolak, sementara mimpi membesarkan produk akhirnya berujung
tragis. Baca juga Strategi-xiaomi-tahun-2017
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....