DENGAN MATA HATI LIHATLAH ORANG YANG BERIMAN DAN ORANG KAFIR
PERJALANAN JIWA (1)
“Dengan mata hati, lihatlah orang yang beriman dan orang kafir.
Pertama, bagi para sufi yang berada di maqam hakikat atau esensi, semua yang bersifat lahir maupun batin sulit dibedakan. Sama sulitnya membedakan bentuk dan isi. Bentuk dan isi terpatri atau tercampur satu sama lain. Ibarat logam campuran seunsur, mereka sudah tak dapat melihat lagi perbedaan unsur-unsurnya.
“Dengan mata hati, lihatlah orang yang beriman dan orang kafir.
Mereka tidak punya apa-apa kecuali hanya bisa menangis dan berseru
‘O, Tuhan, O Yang Maha Hidup,’ berdasar kepercayaan masing-masing.”
Djalal al-Din Rumi menulis syair ini dalam karyanya Divan-i Kabir.
Sebait syair itu tercipta dari pengalaman panjang tokoh sufi kelahiran
kampung di pinggir sungai Wakhsh, Persia (sekarang Tajikistan). Di
dalamnya, nilai terdalam Agama Cinta dapat diresapi.Ya, Agama Cinta,
sebentuk spiritualisme universal yang melampaui bentuk-bentuk keyakinan
dan agama umat manusia.
Spiritualisme ini mencerminkan desahan batin terdalam umat
manusia dalam mengharap, merindu dan mencintai Sang Tuhan: Tuhan dalam
pengertian-Nya sebagai (yang diyakini semua makhluk), Sang Pencipta dan
Tempat Bergantung semua makhluk, tanpa terkecuali.
Ini merupakan “Agama Dalam” atau “Agama Batin” yang
melampaui bentuk-bentuk, doktrin, model sesembahan dan konseptualisasi
manusia atas Tuhan. Menurut Rumi, ketika terjadi hubungan intim sang
pecinta dengan yang dicintai, tak bermakna lagi kehadiran setan dan
kebencian. Hanya cinta yang ada. Kekufuran pun berubah keimanan jika
dilakukan atas nama Cinta kepada Tuhan atau demi Tuhan semata. Cinta
kepada Tuhan apalagi menyatu dengan-Nya membuat apa pun yang bertabiat
duniawi (bentuk) menjadi tak berarti. Kata Rumi,
“Aku telah membersihkan rumahku dari kebaikan dan keburukan;
rumahku hanya diisi dengan Cinta kepada Yang Esa.”
Untuk sampai hakikat ini, keadaan yang tak semata terpaku
pada jalan lahiriah, seorang mesti meresapi Agama Cinta melalui pintu
tasawuf.Taraf ini lebih tinggi dibanding sekadar memuja atau mengabdi
kepada-Nya.Seseorang yang berhasrat mesti mendalami ilmu tentang-Nya dan
tentang hakikat semesta, di samping tentu mempraktikkan jalan tasawuf
melaluiibadah, riyadah dan mujahadahdalam maq amat dan ahwal.
Dalam pandangan Rumi, mereka yang sudah meresapi jantung
agama-agama melalui jalan tasawuf akan menjadi “manusia Tuhan”. Manusia
jenis ini berhasil melampaui bentuk-bentuk agama formal. Dalam bait-bait
syair, Rumi menulis :
Manusia Tuhan adalah ia yang telah melampaui kekufuran dan keimanan
Manusia Tuhan adalah ia yang memandang yang benar
dan yang salah sama saja.
Bagi manusia awam, untaian syair Rumi di atas mungkin
dipahami sebagai kesesatan. Bagaimana tidak, Rumi mengatakan “yang benar
dan yang salah sama saja”. Dalam logika keimanan “orang awam”, tak
mungkin sama antara ‘yang salah’ dan ‘yang benar’. Jelas berbeda.
Jika semata menggunakan kaca mata “syariat formal”
seseorang bisa kebingungan.Ungkapan Rumi tak bisa hanya dipahami makna
literalnya. Butuh perenungan dan penelaahan lebih mendalam, memasuki
relung batin para sufi itu sendiri. Dan bagi setiap orang, hasilnya bisa
berbeda. Itulah yang membuat jalan sufi tak serta-merta diamini,
terutama oleh kalangan yang hanya “menghamba” pada ritual syariat.
Terlebih jika tidak diiringi dengan menyelami dimensi spiritual dalam
ritual syariat tersebut.
Bagi kaum sufi, yang baik, salah atau yang kufur dengan
beriman sama saja. Apa yang dimaksud semua sama ini bisa dilihat dari
dua hal.
Pertama, bagi para sufi yang berada di maqam hakikat atau esensi, semua yang bersifat lahir maupun batin sulit dibedakan. Sama sulitnya membedakan bentuk dan isi. Bentuk dan isi terpatri atau tercampur satu sama lain. Ibarat logam campuran seunsur, mereka sudah tak dapat melihat lagi perbedaan unsur-unsurnya.
Pandangan tentang kesatuan atau yang menyatukan dua aspek
biasa disebut dengan paham non-dualisme. Mereka para sufi yang meganut
paham kesatuan (wahdat, union) seperti Ibn ‘Arabi dan Jalal
al-Din Rumi. Sementara bagi orang yang hanya menyakini kebenaran
syariat, bentuk formal merupakan wujud satu-satunya yang riil yang tak
dapat ditawar lagi.
Pandangan kesatuan bisa ditemukan dalam Bhagavad-Gita.
“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik brahmana budiman dan
rendah hati maupun seekor sapi, gajah dan anjing ataupun orag hina papa,
tanpa kasta,” tulis salah satu sloka.
Kesadaran dan kebahagiaan terhadap Cinta pada Yang
Tertinggi hadir pada segala eksistensi. Perbedaannya hanya berkaitan
dengan nama dan rupa dalam perwujudan. Bila manusia memandang dari sudut
pandang Realitas Tertinggi yang hadir pada semuanya, ia akan melihat
dengan pandangan yang sama. Dualisme mendasar ada pada ruh dan sifatnya
bukan jiwa dan badan.
Kedua, pada setiap aspek ciptaan selalu terdapat
pasangannya.Ini bukti kesempurnaan Tuhan.Pada keburukan atau kekufuran
pasti terdapat aspek yang baik atau keimanan. Dalam pandangan Tuhan
semua ciptaan sama saja. Tetapi dalam pandangan makhluk, bentuk-bentuk
ciptaan terlihat berbeda. Bagi kaum sufi, semua perbedaan atau
pertentangan bukanlah dua aspek yang mutlak terpisah dengan realitas
masing-masing, melainkan satu.
Dalam aspek batin, tak ada nama dan bentuk. Manusia pencari
Tuhan mengarahkan spiritualitasnya pada aspek dalam hanya melihat satu
kesempurnaan: sebuah cinta kepada Tuhan yang sama. Inilah relevansi
ungkapan Rumi.Dalam mazhab Cinta, tak ada bentuk keimanan dan
kekufuran.Cinta bersemayam pada jiwa yang mendalam.Cinta kepada Tuhan
sebagai bentuk keimanan tertingggi memiliki kekuatan besar.
Ketika bercerita tentang seorang Muslim yang mengajak
seorang Majusi memeluk Islam dan kisah seorang muazin yang memanggil
salat di wilayah kaum non-Muslim, Rumi sampai pada kesimpulan bahwa iman
dan Agama Cinta ternyata melampaui bentuk-bentuk formal agama. Rumi
memberi ilustrasi. Setetes air dari Cinta yang ditumpahkan ke dalam
samudra, niscaya samudra itu terserap ke dalam tetesnya. Jika api cinta
masuk ke dalam hutan, hutan itu terbakar habis. Jika hasrat cinta
merasuki seorang raja atau komandan sebuah pasukan, niscaya musuh-musuh
keduanya bisa hancur berantakan.
Melihat agama dari bentuk-bentuk “formal” tetap dibutuhkan,
terutama bagi mereka yang mulai menempuh kehidupan keagamaan. Ini tahap
persiapan untuk mengarungi kedalaman esensi atau jantung agama. Saat
persiapan matang dan simbol-simbol formal tak lagi memadai, bersatu
dengan Sang Kekasih akan jadi tujuan akhir yang mesti dicapai para
penempuh jalan. Pada maqam ini yang dapat dicapai pemeluk agama
mana pun, seseorang akan bernyanyi dengan Agama Cinta. Agama Cinta yang
dianut kaum mistikus beragam agama adalah agama universal; satu-satunya
agama yang mesti dianut umat manusia.
Agama universal itulah yang memungkinkan setiap penganutnya
tak lagi terjebak pada ritual formal, simbol-simbol dan sejenisnya,
yang seringkali menjadi sumber perdebatan, bahkan saling menyesatkan.
Agama universal hanya dapat ditemukan dalam Agama Cinta, agama yang
dapat diamalkan semua penganut agama, bahkan mazhab maupun tradisi
ketika mereka berhasil menembus hijab kepada Yang Hakiki. Karena itu,
Agama Cinta ala Rumi adalah agama universal yang dapat direguk berbagai
pemeluk agama dan tradisi jika mereka semua dapat menembus yang hakiki
dengan melampaui simbol-simbol, atau dapat keluar dari kungkungan
bentuk-bentuk formal lahiriah semata. Rumi kembali menyakinkan bahwa,
“Agama Cinta adalah terpisah dari seluruh agama, hanya Tuhan saja
miliknya.”
Pernyataan Rumi tersebut dalam pengertian bahwa para pecinta Tuhan adalah manusia-manusia yang dapat merefleksikan cahaya Tuhan. Karena Tuhan dapat mendekat dan menyapa siapa pun dan dari agama apa pun, maka Tuhan menjadi milik yang disapa. Nikmatnya bermesraan dengan Tuhan membuat sang pecinta merasa bentuk formal agama atau bentuk ikatan apa pun sudah tidak memadai lagi. Dalam keadaan begini, Rumi menandaskan:
“Agama dan kebangsaanku adalah Tuhan.”
Pernyataan Rumi tersebut dalam pengertian bahwa para pecinta Tuhan adalah manusia-manusia yang dapat merefleksikan cahaya Tuhan. Karena Tuhan dapat mendekat dan menyapa siapa pun dan dari agama apa pun, maka Tuhan menjadi milik yang disapa. Nikmatnya bermesraan dengan Tuhan membuat sang pecinta merasa bentuk formal agama atau bentuk ikatan apa pun sudah tidak memadai lagi. Dalam keadaan begini, Rumi menandaskan:
“Agama dan kebangsaanku adalah Tuhan.”
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Komentar
Posting Komentar
SKP : MENANTI KOMENTAR ANDA DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN SARAN DAN PENDAPAT.....