ASY SYIBLI MEMBAKAR SURGA
Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari - lari sambil membawa obor.“ Hendak kemanakah engkau?” tanya orang - orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehi-ngga orang - orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.
Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.
Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”
Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.
Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”
Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”
Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”
Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.
Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.
Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”
Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”
Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”
Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.
“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”
Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.
“Siapa kalian?” pekiknya.
“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.
Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.
Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”
***
DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.
Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”
“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.
Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.
“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.
“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”
As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.
Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.
As-Syibli selalu mengatakan kalimat : "Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”
As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.
Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.
Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.
“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.
As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?
“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”
Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.
“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:
“AKU IRI KEPADA IBLIS. DI SINI AKU DUDUK DALAM DAHAGA, TAPI DIA MEMBERI NIKMAT KEPADA YANG LAIN. ALLAH TELAH BERFIRMAN: “SESUNGGUHNYA LAKNAT-KU KEPADAMU HINGGA HARI KIAMAT (QS, 38:78). AKU IRI KARENA IBLISLAH YANG MENDAPATKAN KUTUKAN ALLAH ITU. MESKIPUN BERUPA KUTUKAN, BUKANLAH KUTUKAN ITU DARI DIA DAN DARI KEKUASAAN-NYA?”
Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”
Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.
Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”
Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.
Sumber Kisah Alkisah. Baca juga SYEH SITI JENAR PUASA DAN HAJI
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?